Saya pertama kali bertemu Pater Josef Suwatan MSC pada akhir tahun 1976 di Seminari Pineleng. Pater Suwatan waktu itu bertugas sebagai Superior Skolastikat dan dosen Sekolah Tinggi Seminari Pineleng. Pengenalan lebih lanjut berlangsung di ruang kuliah. Dari kuliah-kuliahnya, hanya dua yang masih saya ingat karena benar-benar membekas, yaitu bahasa Inggris untuk advanced level dan teologi Allah Tritunggal. Di kelas bahasa Inggris saya sangat tertarik dengan cara ia menuntun kami untuk menelaah suatu teks secara akurat sambil memerhatikan struktur gramatika kalimat. Teknik ini kelak mempengaruhi cara saya membaca buku teks. Kuliah Trinitas memikat hati saya, karena itulah pertama kali saya mendekati dan dibimbing untuk memahami misteri Allah Tritunggal. Karir sebagai dosen berhenti tahun 1981, karena Pater Suwatan dipilih menjadi Pemimpin Provinsi MSC Indonesia. Hal yang paling menyentuh hati saya tentang Pater Suwatan, baik sebagai Superior Skolastikat maupun sebagai Provinsial, ialah ia selalu berusaha mengenal frater-frater sedekat mungkin. Banyak waktu ia sediakan untuk percakapan dan bimbingan pribadi dengan frater. Jika ia berkunjung ke daerah-daerah, selalu saja ia berusaha untuk mengunjungi keluarga atau orang tua dari frater, bruder dan pastor MSC. Sedapat mungkin semua yang terjangkau dikunjungi. Ia juga tidak pernah lupa mengunjungi rumah-rumah biara. Ia menyapa para suster, bruder dan frater di sana. Tak heran di pulau Kei dan Tanimbar, misalnya, sampai sekarang banyak orang mengingat nama Pater Suwatan. Cara ia memberi perhatian kepada orang lain secara tak terhindarkan memberi kesan ia seorang bapa yang baik hati.
Motto episkopalnya, “Credidimus Caritati”, menurut saya, mencerminkan compassion yang telah menjadi watak hatinya. Tentu berbagai faktor turut membentuk karakter itu. Tapi pembinaan dan penghayatan spiritualitas MSC telah menjadikannya seorang religius, imam dan gembala dengan hati yang tenang, bening, jernih, terbuka dan empatik. Mgr. Suwatan selalu tampil sebagai gembala yang hidup menurut gerak hatinya. Ia seorang pendoa dan refleksif. Ia menaruh perhatian pada banyak orang. Selama 27 tahun menjadi Uskup, ia sudah berulang kali mengunjungi semua paroki di keuskupan Manado. Ia sangat sibuk. Untunglah kesehatannya terbilang prima. Ciri khasnya, ia selalu kembali kepada hatinya yang merasa dan menalar. Ia bukan tipe pemimpin yang mengambil keputusan dengan cekatan dan cepat. Ia bukan tipe manejer yang pragmatis. Ia bukan juga pemimpin yang ketat dengan pagar-pagar peraturan. “Ya, Uskup memang bukan manejer perusahaan,” katanya suatu waktu. Uskup itu gembala jiwa, pemimpin spiritual, yang menuntun hati domba-dombanya. Dengan kekuatan kualitas hati seorang gembala, pastoral kehadiran menjadi gaya khas Uskup Suwatan. Di acara-acara umat sangat sering tampak Uskup hadir sampai acaranya tuntas. Jika ada pasangan suami-isteri yang merayakan ulang tahun perkawinan ke-25, 40 atau 50, dan Uskup tahu, ia akan hadir memimpin misa syukur. Hal yang sama ia lakukan bagi komunitas-komunitas religius yang punya hajatan. Kecuali ketika berada di luar keuskupan, Uskup selalu hadir dan memimpin misa pemakaman orang tua imam yang meninggal. Semua pengalaman itu menyampaikan satu kesan yang sangat kuat bahwa Mgr. Josef Suwatan memang seorang bapa yang baik hati. Kualitas hatinya tampak menonjol pada caranya ia berkomunikasi, kepemimpinan dan gaya pastoralnya. Itulah kesan yang membekas, sekaligus juga menjadi jejak kegembalaan yang ditinggalkan dalam sejarah keuskupan Manado. Terima kasih Mgr. Josef Suwatan atas sentuhan hati yang penuh kasih. Selamat memasuki masa “adi yuswa” (sepuh) dengan penuh kebijaksanaan dan kebahagiaan.
P. Yong Ohoitimur, MSC