Pengetahuan tentang pola konsumsi suatu masyarakat mempunyai banyak faedahnya, antara lain agar dapat secara lebih tepat guna menggerakkan orang untuk hidup sehat dengan asupan yang seimbang. Paparan pada kesempatan ini mencermati kebiasaan konsumsi masyarakat Minahasa, sebagai salah satu kasus studi; hal ini menyangkut apa yang dimakan, siapa-siapa yang ikut makan, dimana tempat makannya, serta pola pikir di balik itu.
Menu yang dihidangkan
a) Untuk konsumsi harian
Kalau diperhatikan apa yang diletakkan dalam piring seseorang pada kesempatan makan harian, langsung akan nampak bahwa nasi menempati 60% dari isi hidangan dan berada di bagian dasar, dan sayur berada di atas nasi dengan jumlah sekitar 35% dari total isi piring, sedangkan ikan dan sambal hanya sebagai pelengkap, 5% saja dan ditempatkan di atas atau di pinggir piring. Dari kondisi inilah muncul ungkapan ‘hanya makan sayur..’ dan juga sanasende’ untuk mereka yang makan bersama harian, yaitu pasangan suami-isteri.
Nasi sudah menjadi hidangan utama harian, sementara jagung, umbi-umbian, dan sagu sudah tidak dipandang sebagai hidangan utama dan hanya menandakan status sosial keluarga yang paling miskin; keluarga yang cukup miskin adakalanya menyantap hanya nasi dicampur dengan garam dan minyak goreng bekas (=minya angus). Jenis beras pun mempunyai urutan atau skala nilai penghargaannya: yang paling rendah ialah nasi yang dicampur dengan jagung (=sinembor) yang menandakan tingkat ekonomi yang miskin dan keluarga itu makan di dapur saja, seraya malu kalau ada tamu yang sempat melihat hidangan ini. Kondisi ini memunculkan suatu humor tentang orang Minahasa, yaitu:
suatu saat seorang Tolé dari kampung x di Minahasa bepergian dengan mobil bus angkutan umum melintasi daerah Gorontalo yang terkenal dengan tanaman jagungnya (binte bilahuta); seorang penumpang memuji daerah jagung ini, tetapi Tolé menyela, “ah kalau di Minahasa di kampung saya jagung itu untuk makanan kuda”. Suasana dalam bus jadi senyap, sementara Tolé merasa hebat. Sesudah melewati jalan berkelok-kelok di daerah Bolaang Mongondow, Tolé merasa perutnya mules dan kemudian dia memuntahkan isi perutnya ke luar. Sang sopir, orang Gorontalo, yang sudah agak dongkol karena komentar Tolé tadi, melihat sebagian muntah yang menempel di dinding bus, dan berkomentar: ‘Oh, ada kuda yang muntah’.
Nilai yang lebih tinggi ialah beras miskin (raskin), beras kapal atau jatah ransun ASN, kemudian jenis PL, dan yang paling diminati kini ialah jenis superwin. Memang untuk pasien gula darah beras kapal dipandang cocok, sehingga orang tak lagi malu karenanya.
Yang lasim dikonsumsi setiap hari ialah jenis ‘sayuran hijau’ yang berserat. Yang paling banyak ialah daun (dan bunga) pepaya, gedi, daun singkong, pakis, serta kangkung. Sebagai variasi dari menu rutin ini adakalanya disajikan terong, kacang-kacangan, paria, labu, dll. Bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan kesehatan, misalnya masuk angin atau gejala flu, adakalanya disiapkan suguhan seropen, yaitu kuah hangat yang berisikan rempah-rempah yang memicu panas dalam, seperti jahe, kunyit, temulawak, cengkih, pala, bawang, dsb. Untuk ibu muda yang baru melahirkan dan tak punya ASI disuguhkan sayur daun katu. Memang hanya sedikit pengetahuan tentang kegunaan sayur-sayuran hijau ini untuk kesehatan. Dan bila disajikan soup brenebon (kacang merah) dicampur dengan kaki babi, rasanya hidangan itu sudah lebih bergengsi; soup brenebon ini termasuk salah satu penanda untuk menu Minahasa. Tokh sejak tahun 1970-an banyak diproduksi mie instant, dan mie instant ini sudah mampu menerobos masuk ke piring-piring keluarga sampai di pedalaman, malahan diberi nama khas yaitu ‘sayur mie’; mie instant dipandang lebih bergengsi ketimbang sayur tradisional, karena bumbu-bumbu penyedap rasanya dan lebih praktis-cepat untuk disajikan, apalagi mie dirasa lebih ‘modern’. Mie instant juga lasim disuguhkan bersama telur ayam kepada tamu yang tak disangka-sangka muncul pada saat makan dan tamu ini pun diundang untuk turut bergabung dengan keluarga.
Ada suatu hal yang menarik tentang sayuran tradisional Minahasa. Pada masa perang saudara Permesta tahun 1957-1961, bahan baku makanan, khususnya beras, sangat kurang, sehingga para ibu rumah tangga berusaha menyajikan makanan a la kadarnya bagi seluruh keluarga. Segala jenis bahan makanan yang ada di sekitar tempat persembunyian itu dimasukkan ke dalam kuali dan dimasak (karenanya dinamakan tinu’tu’an, yang artinya apa yang dimasak, tu’tu’; di daerah Tontemboan dikenal dengan nama peda’al). Porsi sayur-sayuran sangat banyak, dibandingkan dengan beras. Sayur yang paling banyak dipakai ialah sayur gedi, karena selalu tersedia di halaman-halaman rumah dan di pinggiran kebun; keluarga saya pada waktu itu hidup dari sayur koles yang tumbuh subur di tepi sumur. Dan terdapat paling kurang 10 variasi peda’al ini yang menggabungkan varietas sayur mayur yang ada di pekarangan atau di kebun. Inilah yang menjadi cikal bakal “bubur Manado”, yang sekarang dikonsumsi sebagai cemilan rekreatif pada saat sarapan pagi atau sebagai teman minum kopi di sore hari, Tapi tinu’tu’an ini pun sudah jarang dihidangkan dalam menu keluarga di pedesaan, sedangkan di kota Manado disediakan di warung-warung untuk para pegawai negeri (ASN) dan turis.
b) Hidangan pesta.
Seratus persen berbeda dengan makan harian, pada saat pesta piring para hadirin diisi dengan ikan/daging (serza’) sekitar 60%, ditambah dengan sayur 20% dan nasi 20%. Diberi komentar untuk itu, ‘nasi kwa banya di rumah’. Yang disebut serza’ (ikan dan juga daging) itu umumnya terdiri dari hewan darat, seperti daging babi dan ayam, serta ikan air tawar (ikan mas dan mujair); lebih istimewa bila ada daging rw (anjing), tikus ekor putih, kelelawar, ataupun daging ular python/sawah; ikan laut seperti cakalang agak jarang disuguhkan. Sajian serza’ inilah yang menjadi prestige dari suatu pesta, jumlah dan jenis serta cara masaknya menjadi tanda penentu. Karena itu serza’ diletakkan lebih dahulu di depan para tamu, baru diikuti dengan sayuran, dan pada bagian akhir dibawa masuk nasi serta soup; ini menandakan bahwa perjamuan pesta akan segera dimulai.
Jenis sayuran yang disiapkan untuk pesta ialah ‘sayuran putih’, seperti kol, petsai, wortel; umumnya sayuran itu diolah menjadi cap cae ca. Adakalanya ditambahkan dengan ‘sayur pahit’, yaitu campuran antara daun dan bunga pepaya, pakis, kangkung; menu ini baru sekitar sepuluh tahun diperkenalkan untuk pesta, tapi belum cukup populer. Pada kesempatan khusus, yaitu pada pesta kawin atau pada saat kumawus (hari minggu sesudah persitiwa kematian seorang anggota keluarga), dan pada pesta Natal-Tahun Baru, dimasaklah dalam bambu sayur pangi (=melinjo), koles (jenis ini sudah jarang ditemukan), pakis, atau sa’ut (batang pisang muda yang diiris halus dan dicampur dengan daging ayam atau babi). Sayuran ini sebenarnya sayuran asli Minahasa dan hanya dimasak pada kesempatan pesta, sehingga dulu orang merasa belum berpesta kalau belum makan sayuran ini, tetapi sejak dua dasawarsa terakhir sayuran pangi sudah gampang ditemukan di restoran-restoran siap saji di jalan antara Manado dan Tomohon sehingga pamornya sudah merosot.
Tuan pesta pasti akan menjadi malu, bila menyajikan nasi bercampur jagung (sinembor), atau umbi-umbian, apalagi sagu. Begitu pula dengan sayur daun pepaya. Tokh, bila ada suguhan makanan ini, pasti akan laris manis, karena sudah menjadi langka; peminatnya kebanyakan mereka yang sudah kena gejala asam urat, kolestrol, dan gula darah tinggi.
Siapa yang makan bersama?
Pada era pola produksi pertanian untuk konsumsi keluarga sendiri, anggota-anggota keluarga sering makan bersama setiap hari entah di kebun ataupun di rumah. Sebagian lansia masih suka bernostalgia tentang makan bersama ini, saat semua anggota keluarga menyantap hidangan yang ditaruh di satu bakul (=limpurzong) dan makan dengan tangan saja. Memasuki era pola produksi pertanian untuk dijual ke pasar (production for sale), terjadi perubahan dalam pola makan keluarga. Makan bersama di kebun sudah jarang terjadi, karena isteri kebanyakan tinggal di rumah saja, sedangkan anak-anak sudah jarang ke kebun untuk membantu orang tua karena alasan bersekolah. Malahan sudah banyak keluarga yang sudah tidak melaksanakan makan bersama di rumah pada malam hari; masing-masing anggota keluarga, bila sudah lapar, pergi mengambil makanan di dapur.
Lasimnya setiap hari masing-masing anggota keluarga yang tinggal serumah makan hidangan yang disediakan. Di beberapa keluarga ada juga ‘orang dalam’ yang diajak untuk turut bergabung saat makan; ‘orang dalam’ (atau tamu hari-hari) ini belum tentu saudara atau kerabat dari tuan rumah, tetapi dia adalah teman (tamang atau peer) dari salah satu anggota keluarga (bapa, ibu, ataupun anak punya tamang dekat).
Bilamana keluarga sedang duduk makan bersama dan muncul seorang tamu yang dikenal dan cukup terpandang, pasti dia akan diajak makan dan semua yang sedang makan akan berhenti sejenak. Ibu rumah tangga pasti akan cepat-cepat membuat telur dadar atau mie sebagai tambahan extra untuk tamu tersebut. Dulu orang katakan, “dapurnya berbuah”, bila nampak dapur masih berasap padahal keluarga sedang duduk makan.
Pada saat pesta, yang ikut makan bersama ini adalah para tamu yang diundang. Untuk acara pesta kecil, seperti perayaan ulang tahun, yang diundang ialah kerabat dan teman dekat dari yang berpesta. Untuk tamu yang dihormati dan dipandang lebih tinggi posisinya daripada keluarga, keluarga akan dengan rendah hari mengundang dia, agar “datang kwa ne ka rumah lusa, biar cuma makang sayor…” Tapi bisa jadi sama sekali tidak ada sayur yang dihidangkan. Dan sekitar dua dasawarsa lalu, saat orang belum terbiasa memesan makanan lewat catering, dapur tuan pesta pasti dipenuhi dengan para tetangga dan kerabat yang ikut bantu memasak makanan; menjelang pesta, walaupun makanan sudah selesai dimasak, para pembantu ini hanya disuguhkan hidangan tersendiri, seperti soup tulang babi, sayur sa’ut, dan bila para tamu sudah selesai makan dan sudah mulai pulang, barulah mereka menyantap hidangan pesta itu. Mereka ini dikategorikan sebagai ‘orang dalam’. Sedangkan para tamu yang diundang pada pesta perkawinan ialah para tokoh masyarakat yang berhubungan dengan keluarga yang berpesta (seperti pemuka agama, pemerintah sipil) dan yang kehadirannya menjadi ukuran tingkat keagungan suatu pesta, para anggota keluarga-kerabat dari pihak bapa dan pihak ibu, teman-teman dan handai tolan dari keluarga. Sedangkan pada acara kumawus (hari minggu sesudah kematian salah seorang anggota keluarga) semua anggota kerabat yang tergabung dalam Rukun Keluarga pasti akan datang dan turut makan bersama; mereka tak perlu diundang lagi karena ini sudah merupakan kewajiban dari anggota Rukun Keluarga. Yang diundang hanyalah para tokoh masyarakat, orang-orang terpandang, yang sudah datang melayat pada saat kematian, waktu tirakatan, pemakaman, ataupun pada peringatan Tiga Malam.
Makan di luar atau di dalam?
Yang paling lasim terjadi ialah anggota keluarga makan di rumah atau di dalam rumah, sedangkan ‘makan di luar’ berarti tidak disiapkan makanan di rumah dan karenanya mencari tempat makan di luar rumah. Tetapi di dalam rumah sendiri pun terdapat beberapa tempat yang dipakai untuk makan. Keluarga, yang menyajikan makanan di dapur, kebanyakan berasal dari kelas ekonomi rendah; menu hariannya relative sederhana, umumnya nasi dan sayur saja. Dapur yang serentak menjadi kamar makan ini merupakan ruang yang paling pribadi untuk keluarga, dan keluarga akan menjadi malu bilamana ada orang luar yang masuk ke sini, hingga bila akan menjamu tamu, pasti akan disiapkan di ruang tamu. Keluarga kelas menengah sudah memisahkan antara dapur dan ruang makan, dan hidangan di ruang makan ini sudah lebih bervariasi dan terdiri dari nasi, sayur dan ikan. Satu-dua kali setahun ruang tamu di depan rumah sampai di beranda rumah dipakai sebagai tempat makan pada kesempatan menerima tamu yang terhormat; hidangan yang disediakan memang sengaja ditempatkan di sini dan hal ini menunjukkan prestige dari keluarga. Misalnya, pada pesta pengucapan syukur (Thanksgiving Day) atau pada pesta Natal dan Tahun Baru. Pada perayaan yang besar, seperti pesta Kawin atau kematian, sering dipakai kintal rumah (adakalanya sampai di jalan depan rumah) sebagai tempat makan, karena yang diundang makan itu jumlahnya banyak; secara khusus pada saat kumawus justru semua yang hadir, termasuk keluarga yang berduka, tidak makan di dalam rumah (entah di dapur, ruang makan atau di ruang tamu) tetapi harus makan di sabua di kintal bersama dengan para tamu, dan makan bersama ini menandakan permulaan penataan baru ikatan kekerabatan sesudah ada anggota yang meninggal.
Pilihan untuk ‘makan di luar’ (eating out) bisa karena berpiknik atau memilih untuk makan di restoran. Makan di luar saat piknik itu berarti keluarga memasak masakan di rumah dan memilih tempat yang pas di luar untuk makan; lasimnya menu terdiri dari nasi dan ikan, tanpa sayur, dengan alasan: ini yang praktis saja. Makan di restoran lasim dilaksanakan bila keluarga pergi berbelanja di pertokoan-mall dan untuk kesempatan/peristiwa khusus dari keluarga, seperti baru selesai satu jenjang studi, habis panen raya. Pilihan jenis restoran yang mana juga dipengaruhi oleh maksud dari ‘makan di luar’ ini, entah sekedar untuk mengisi perut yang lapar dan pilihan restorannya yang cepat saji untuk nasi goreng, mie, atau nasi cap cae, atau ingin makan kenyang dengan menu bervariasi dan cepat saji: pilihannya ke restoran khusus di jalan Manado-Tomohon atau di Kawangkoan, ataupun ingin makan kenyang dengan tenang dengan menu bervariasi yang baru dimasak: pilihannya di beberapa restoran di tepi pantai Malalayang-Manado yang menyuguhkan ikan bakar.
Baik untuk dimakan, baik untuk dipikir.
Bonnes á manger, bonnes á penser, baik untuk dimakan, baik untuk dipikir, demikian kata Claude Lévy-Strauss sesudah menganalisis pelbagai mitologi tradisional khususnya yang berkaitan dengan kegiatan masak dan makan. Memang nampak dalam paparan di atas bahwa berbicara mengenai konsumsi pangan itu juga menyangkut soal pola rasa dan pola pikir dari suatu masyarakat. Kegiatan makan bukan hanya soal enak rasanya, kenyang, dan sehat, tetapi juga soal gengsi, reputasi, nama baik, serta posisi pada tingkat ekonomi tertentu. Karena itu demi nama baik, gengsi, reputasi dari yang berhajat, penentuan ruang tempat makan penting, menu makanan yang dipertunjukkan kepada public harus dengan jelas (baik dengan cara dipamerkan ataupun memang dikatakan secara eksplisit), pun siapa-siapa yang turut makan harus diumumkan. Pernah saya dengar ungkapan ini: “torang da beking sabua basar no, supaya lei dorang lia torang lei boleh ba pesta basar; dorang kira cuma dorang tu boleh. Itu lei supaya dorang nda mohina-hina, mo injang-injang pa torang. Dorang lia torang hari-hari hidop susa”. (Sengaja dibuat pesta besar dengan ruang pesta yang besar, agar mereka lihat bahwa kami mampu berpesta besar, agar mereka tidak menyepelekan kami lagi, karena nampaknya hidup harian kami miskin). ‘Mereka’ itu maksudnya para tetangga, handai tolan atau kerabat yang menyepelekan keluarga yang berpesta.
Sebenarnya soal kesehatan hampir tidak mendapat tempat manakala orang makan, apalagi kalau tersaji hidangan pesta; yang muncul tanpa disadari pikiran ini, “kalu ada tada’, kalu nyanda haga’ (kalau ada, hantam; kalau tak ada, ya melongo). Baru kalau mulai diserang penyakit gastritis, barulah soal kesehatan dipedulikan.
Cara penyajian hidangan baik untuk harian maupun untuk perjamuan pesta belum memperhitungkan nilai keindahan; saya kaget, saat beberapa tahun lalu seorang mahasiswi dari Belgia yang datang meneliti di Minahasa, mengatakan bahwa makanan tradisional Minahasa itu ummnya berwarna gelap dan tidak menarik untuk dipandang. Untuk perjamuan pesta yang lebih ditonjolkan ialah soal kuantitas dari hidangan itu, yang menunjukkan kehebatan dari yang berpesta. Malahan, bilamana para hadirin sudah selesai makan, ternyata masih banyak makanan yang sisa, bisa jadi seorang tamu akan menyanjung tuan rumah begini: “aduh, luar biasa pesta ini. Lihatlah, bagaikan tidak terkurang sedikit pun”. Tuan pesta, yang hanya mengawasi selama tamu makan, bisa menjawab dengan bangga, “Iya, memang benar. Senang tadi saya melihat para tamu berebutan mengambil makanan, dan semua sudah makan betul-betul, tapi masih banyak persediaannya”.
Perihal ‘makan sayur’. Sudah dikatakan bahwa makan sayur itu dahulu menandakan kemiskinan; yang miskin hanya makan nasi dan sayur setiap hari. Paham ini masih sangat kuat terpateri pada memori kolektif orang Minahasa (walaupun tak langsung disadari secara individual), sehingga sudah banyak generasi muda yang enggan makan sayur pada saat makan bersama di rumah. Para ibu hanya mengeluh, “anak ini memang tidak suka sayur sejak kecil”, tanpa banyak usaha untuk melatih soal rasa si anak. Sebaliknya dalam lirik lagu-lagu pop Manado ditegaskan gambaran tentang pola hidup orang kaya, yakni “hari-hari makan roti dan telur” dan tidak perlu bekerja lagi, karena sudah kaya raya dan makan-minum terjamin. Ideologi ini dianut juga oleh anak-anak dari keluarga miskin, yang senang dengan jajan dan makan roti.
Sekali waktu Bapak Uskup Timika, Mgr. John Saklil pr, memberi pembandingan tingkat ekonomi keluarga lewat soal makan. Katanya, kelompok orang yang miskin (dan ini mencakup jumlah yang terbanyak) setiap hari akan bertanya: “hari ini kami mau makan apa?” Sedangkan kelompok kelas menengah sudah tidak mementingkan pertanyaan tentang apa, tetapi mereka sering mengajukan pertanyaan ini: “hari ini kita mau makan di mana?” Dan masih terdapat sekelompok kecil orang yang kaya yang mengajukan pertanyaan yang berbeda, yaitu: “hari ini kami mau makan siapa?” Artinya harta siapa lagi yang bisa kami manipulasi dan dapatkan?
Catatan untuk dipertimbangkan bila membuat gerakan pangan.
Gerakan menanam sayur dan mengonsumsinya itu agar sehat pasti akan mengalami reaksi diam dari kebanyakan masyarakat, yaitu mereka memang mendengar apa yang dikatakan tetapi belum tentu akan mengerjakannya. Mengapa begitu? Karena ‘makan sayur’ itu adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam ranah pribadi/privat, jadi bukan untuk ditunjukkan dalam ranah public, dan secara tak disadari ada asumsi bahwa itu menandakan kemiskinan.
Konsumsi pangan itu bukan hanya soal rasa enak, demi kesehatan, melainkan juga mengandung nilai gengsi, harga diri, nama baik, reputasi. Jika demikian, kampanye makan sayur harus membuat pamor sayuran itu naik menjadi makanan elite, karena menu makanan kelompok elite menjadi acuan bagi orang kebanyakan. Misalnya, di sebuah restoran hotel bintang lima di Sorong terdapat hidangan sayur terong dan sayur lilin yang diberi saus ikan, sehingga terkesan bagaikan makan daging bersaus. Atau belajar dari tinu’tu’an alias bubur Manado, yang berawal dari makanan di masa krisis pangan dan yang menjadi sajian khas daerah untuk para turis, tapi sayangnya ini masih menghilang dari meja orang Manado sendiri. Begitu juga dibutuhkan upaya untuk mempromosikan ‘makan sayur’ pada kesempatan acara perjamuan pesta; hidangan sayur ini seyogianya diberi dandanan yang indah agar menarik mata, karena dari kesempatan inilah keinginan dan rasa dari masyarakat akan dipengaruhi karena ini makanan yang bergengsi.
Penulis: P. Paul Richard Renwarin, pr
Pineleng, 21 Agustus 2017
Makalah disampaikan pada pertemuan tahunan INFO JPIC
Tahun 2017, di Lotta.