Kisah Kasih Pastor Maurits Lensun
(oleh P. Shefry Topit)
Stasi Guaan waktu itu, di awal tahun 1980an, masih menjadi bagian dari paroki Kristus Raja Kotamobagu, listrik masih belum stabil, hanya menyala dari jam 18.00 sore sampai kira-kira jam 05.00 keesokan harinya. Sebagai stasi terbesar dari paroki Kristus Raja Kotamobagu kala itu, gereja Katolik St.Fransiskus Xaverius-Guaan belum memiliki pastoran sebagai tempat transit atau berteduh sejenak bagi para petugas pastoral, akibatnya semua pastor atau frater yang datang bertugas pastoral di Guaan biasanya menumpang di rumah kami yang sederhana, sebuah bangunan RDG (Rumah Dinas Guru) yang dindingnya terbuat dari papan, hanya memiliki dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil dan dapur yang menyatu dengan ruang makan. Letaknya persis di sebelah kiri gedung SDRK Xaverius-Guaan. Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius sendiri terletak di seberang jalan, berhadapan dengan gedung SDRK.
Dalam satu kesempatan tugas pastoral dalam rangka natal, Fr. Diakon Maurits Lenzun, seperti para frater lainnya juga, menginap di rumah kami. Beliau mendapat “kamar muka” sebagai kamar tamu istimewa. Dari satu-dua lembar foto yang sempat diambil pada waktu itu, terlihat Frater Maurits datang dengan potongan rambut gondrong sedikit berombak sampai menyentuh bahu, postur tubuhnya yang kurus membuat buah jakunnya kelihatan menonjol di lehernya, ia memakai jaket warna kelabu, tentu saja dengan celana panjang model khas tahun 1980an, berkaki lebar. Cara berjalannya agak cepat sehingga kami, anak-anak kecil yang mengiringi ketika pergi ke gereja, harus berlari-lari mengimbangi cara berjalannya yang cepat. Setiap kali dia mengayunkan langkah, jubah dan celananya yang berkaki lebar itu menimbulkan bunyi “plak plak plak plak”, berkibar seperti bendera yang menyapu jalan. Karena saya selalu menemani Frater Maurits, beliau kemudian membaptis saya dengan nama baru: “Capas=Calon Pastor”, nama yang melekat sekian lama sejak saya kelas 1 atau 2 SD waktu itu.
Selama masa tugas pastoral natal Frater Maurits melakukan banyak hal antara lain: mengajak kami anak-anak untuk mengunjungi umat terutama yang sakit, kami diajarinya lagu-lagu riang yang dinyanyikan di setiap rumah yang kami kunjungi, dia membuatkan topi-topi yang menyerupai mahkota 3 raja dari kertas berwarna, dia juga menyiapkan kain-kain semacam sarung untuk dipakai oleh para gembala cilik lengkap dengan tongkatnya. Ahhh sebuah rangkaian kenangan natal yang luar biasa dengan Frater Maurits.
Waktu terus berlalu sampai akhirnya pada tanggal 31 Juli 2000 saya diberi kesempatan oleh pihak seminari Pineleng untuk menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St. Paulus-Lembean. Dengan menggunakan mobil Mitsubishi L300 berwarna merah maroon tua , saya diantar oleh beberapa teman frater menuju Lembean. Pastor Mauritslah yang menjemput kami karena pastor paroki P.Marcel Rarun MSC tidak berada di tempat. Terjadilah percakapan penuh nostalgia. Pastor Maurits terkejut bahwa Frater kecil yang sekarang ada di depannya sekarang adalah anak kecil yang dulu pernah dinamainya “Capas”. Dia merasa senang tak terkira, seorang anak kecil yang dulu pernah menimba air sumur untuk dipakainya untuk mandi, sekarang sudah benar-benar menjadi Calon Pastor. Anak kecil yang dulu diajarinya menyanyi lagu-lagu riang, kini hadir di depannya dengan sapaan Frater.
Anak kecil yang dulu pernah diajarinya memompa “lampu gas Petromax” kini hampir menjadi sarjana (waktu itu skripsi sudah selesai disusun, tinggal menunggu jadwal ujian). Pastor Maurits mengajak saya berkeliling sambil menjelaskan secara rinci bagian-bagian gereja dan pastoran, termasuk ruangan yang biasanya menjadi kamar Frater Pastoral. Setelah sekian lama bercakap-cakap, tibalah P.Marcel Rarun MSC, dan P. Maurits pun mohon diri untuk istirahat siesta sambil berpesan: “Marcel, kase jo frater pe kunci kamar supaya Frater mo se maso tu valis!”. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, P. Marcel tiba-tiba berkata: “Mari jo frater, se nae ulang di oto tu valis, torang somo pigi di Panti Werda. Frater mo tinggal di situ sementara, mungkin satu atau dua minggu !”
Satu atau dua minggu itu akhirnya menjadi 12 bulan plus 1 hari di Panti Werdha. Saya meninggalkan Panti Werdha pada tanggal 1 Agustus 2001. Di masa tahun orientasi pastoral yang amat berat itu, sebagaimana kata banyak orang, P. Mauristlah yang selalu menjadi penyemangat. Setiap hari saya belajar mencoba melakukan sesuatu yang baru di lingkungan yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya: di Rumah Sakit Hermana Lembean saya belajar banyak hal, mulai dari loket penerimaan pasien gawat darurat yang bersebelahan dengan ruangan IGD, saya belajar mencari dan mancatat data pasien yang sebelumnya sudah terekam. Di ruangan IGD saya juga sering turut menyaksikan proses penanganan pasien gawat darurat, bahkan sangat sering diajak untuk turut memformalin jenazah.
Setiap pagi selesai misa saya menghantarkan komuni kudus bagi pasien yang membutuhkannya. Pastor Maurits mengusulkan supaya saya menyusun doa-doa yang digunakan oleh para pegawai ketika mengawali tugas harian dengan ibadah singkat di unit kerja masing-masing, dan hal itu terlaksana dengan baik sampai para pegawai sudah menghafal isi doa-doa yang diucapkan setiap hari. Itulah bagian dari pelayanan pastoral care.
Dalam misa pagi komunitas Hermana yang hanya dipimpin oleh pastor Maurits, saya diminta untuk turut menjadi asisten, dan saya sering mendapat giliran berkotbah, bergantian dengan pastor Maurits setiap hari. Sebelum misa beliau memeriksa catatan kotbah saya, ia mengoreksi dan membetulkan, mengurangi dan menambah sesuatu di bagian yang masih perlu diluruskan. Setiap kali memimpin misa harian beliau membawa buku tebal hitam yang sudah usang, banyak coretan, banyak lipatan dan banyak sisipan pembatas buku, itulah buku Daily Roman Missal, sebuah misale bahasa Inggris. Beliau menggunakan semua rumusan doa dari teks berbahasa Inggris, tetapi suara yang keluar dari mulutnya adalah doa dalam bahasa Indonesia.
Ada saat-saat tertentu beliau berhenti sejenak mencari kata-kata yang tepat supaya bisa dimengerti oleh umat yang hadir. Beliau selalu setia, tidak peduli cuaca apapun. Pernah terjadi di suatu pagi, ketika hari masih gelap dan hujan rintik-rintik sementara turun, ia datang dengan tergesa-gesa dari pastoran menuju kapel komunitas Hermana, dengan rambut basah, ia melindungi bukunya dengan plastik hitam. Rupanya ia lupa di mana ia meletakkan payungnya. Begitu tiba di sakristi ia berujar: “Maaf frater, saya terlambat”, dia melirik ke arah jam dinding, kemudian melanjutkan, “terlambat 2 menit !”. ketika misa di stasi-stasi jauh (Kema, Lilang, lansot, Waleo, pastor Maurits selalu menunggu umat. Ia pasti tiba di gereja lebih dahulu dengan motor kesayangannya dan ransel dipunggungnya.
Pastor Maurits adalah teladan dalam menyapa orang lain. Beliau hampir tidak pernah membalas sapaaan orang lain karena beliaulah yang selalu lebih dahulu menyapa orang lain dengan namanya. Ketika dia melihat seseorang walaupun jaraknya masih sekitar 10 meter, beliau selalu menyapa sambil mengangkat tangan: “Selamat pagi, … (dengan menyebut nama), tentu saja dengan senyum khasnya yang ramah, sambil menganggukkan kepala.
Proses belajar di tahun pastoral itu memang terasa sangat berat dan kelam. Ketika pernah saya merasa ingin mundur karena selalu “dapa veto” dari pastor paroki tanpa alasan yang jelas, apalagi hanya ditempatkan di Panti Werdha bersama para lansia, tanpa uang saku dari paroki, Pastor Mauritslah yang menghibur dengan segala nasihat kebapaannya. Beliau sering mengingatkan, kalau tidak punya uang lagi, katakan saja, mintalah. Ketika kegalauan menerjang, ia selalu memberi rokok Gudang Garam Merah atau Kristal Biru, lengkap dengan korek api.
Pada tanggal 12 Oktober 2002, ketika saya sudah kembali ke Pineleng, saya diminta untuk terlibat dalam kegiatan Rally Rosario Mudika, dari Lembean menuju Bitung. Malam itu ketika semua peserta sudah terkumpul, sebenarnya terjadilah peristiwa bom bali 1. Tak seorangpun yang mengetahui peristiwa itu, kecuali Pastor Maurits. Beliau mengetahuinya lewat siaran berbahasa Inggris dari radio merek National usang yang selalu On. Pastor Maurits sengaja menyimpan info itu sampai kegiatan rally Rosario selesai supaya tidak ada kepanikan.
Sesudah saya ditahbiskan, saya berkesempatan merayakan misa pertama di Lembean. Ketika dijemput, beliau merangkul saya sambil tertawa gembira: “Padrinooooo….Shefryo Topitoo !”. Akhirnya saya tahu artinya adalah “Pastor kecil” dalam bahasa Italia. Sejak saat itu ia selalu menyapa saya dengan “Padrino”. Ketika saya sesudah kembali dari tugas mengejar ilmu di Roma-Italia, setiap ada kesempatan bertemu, kami selalu bercakap-cakap dalam bahasa Italia. Ia selalu menyapa saya dengan “Padrino”, saya menyapanya dengan “Don Maurizio”, tentu saja dengan gembira.
Pertemuan terakhir dengannya terjadi pada Hari Minggu Paskah, 31 Maret 2024, ketika saya dihubungi untuk menggantikan beliau memimpin misa di komunitas Hermana, karena ketika memimpin misa Kamis Putih sebelumnya P.Maurits terjatuh dan collaps sehingga beliau harus masuk rumah sakit. Selesai misa saya menghantarkan komuni ke kamarnya di ruangan St. Blasius. Begitu melihat saya membawa komuni, ia yang ketika itu memakai jubah hitam, langsung berlutut di lantai sambil mengatupkan tangan. Tenggelam dalam doa. Selesai berkeliling membagikan komuni, saya kembali mengunjunginya di kamar: “Buongiorno, Don Maurizio, buona pasqua!” sapaku. Dan sambil tersenyum beliau membalas: “Buongiorno, Padrino Shefryo Topitoo, buona Pasqua anche a te”. Suster dan Perawat yang menyaksikan percakapan kami hanya bisa tertawa.
“Don Maurizio,
kaulah teladan kesucian, tidak ada yang menandingimu.
Kaulah teladan ketaatan, tidak ada yang menyaingimu.
Kaulah teladan kesederhanaan dalam semangat kemiskinan, tak ada yang bisa mengalahkanmu.
Ketika orang mencari figur Pastor Bonus, cukup memandang dirimu.
Kaulah rujukan seorang gembala ideal.
Kau bukan hanya bonus (baik), tetapi optimus (terbaik).
Don Maurizio, prega per noi dal cielo.
(dari Capas yang menjadi Padrino, Shefry Topit)