Merenungkab Sabda
Senin, 19 Agustus 2024
Pekan Biasa XX
(Yeh.24:15-24, Mat.19:16-22)
Clive Steples Lewis (seorang Teolog dan Sastrawan Britania Raya) pernah berkata: “Jika kauinginkan dunia, engkau takkan mendapat, tetapi jika engkau inginkan Surga, maka engkau akan memperolehnya beserta dunia.” Ungkapan ini menegaskan sekali lagi tentang ungkapan-ungkapan yang sering kita dengarkan: Uang dapat membeli segala sesuatu, tetapi segala sesuatu tidak dapat diperoleh dengan uang. Tetapi apakah hidup manusia hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan lahiria saja? Ini pertanyaan dasarnya? Jika hidup manusia hanya untuk memenuhi kebutuhan lahiria saja maka harta atau uang menjadi solusi hidup. Tetapi Faktanya banyak orang yang meskipun memiliki banyak harta tapi hidupnya tidak bahagia atau merasa tidak diselamatkan oleh banyaknya uang. Ada satu inti terdalam dari hidup manusia yang selalu menuntut pemenuhannya, yakni kepuasan batin dan ketentraman hidup.
Kepuasan batin dan ketentraman hidup dapat diperoleh dengan Syukur dan semangat berbagi. Sikap bersyukur berarti kita mengetahui bahwa dengan apa yang ada pada kita atau apa yang kita miliki asalahnya dari Tuhan, bukan semata hasil usaha dan kehebatan kita. Dengan mengetahui asal dari semua yang kita miliki membuat kita sadar bahwa Tuhanlah yang menjadi pusat kehidupan kita. Kita sadari pula ketika kita sudah memperoleh banyak dari Tuhan maka perlu pula untuk kita persembahkan kepada Tuhan melalui semangat memberi dan berbagi. Kehadiran Yesus merupakan pernyataan diri Allah yang memang datang untuk membagikan hidupNya supaya manusia selamat. Inilah yang ditanyakan oleh seorang Pemuda yang datang kepada Yesus. Seandainya hartanya yang banyak dan perbuatan baiknya sudah memberikan jaminan hidup, buat apa datang lagi kepada Yesus untuk meminta petunjuk.
Dengan pertanyaan Pemuda dalam Injil tadi, Yesus menawarkan solusi, yaitu: Pertama, menjual dan membagi-bagikan kekayaannya kepada orang miskin (21a-c). Yesus mengajar kita semua agar memiliki harta abadi daripada harta dunia. Kekayaan duniawi hanya memenjarakan hati seseorang berpijak di atasl dua perahu (bdk. Luk. 16:13), sedangkan harta surgawi membebaskan orang dari kemelekatan (bdk. Luk. 12:33-34). Syarat ini rupanya memberatkan hati si pemuda itu. Ia tertunduk dan terdiam. Banyak orang ketika berbicara dengan hartanya dan diminta untuk berbagi; menjadi lesu dan tertunduk karena tidak rela berbagi harta. Kemelekatan kepada harta menjadi penghalang untuk dekat dengan Tuhan. Kedua, mengikut Yesus (21d); artinya, mengabdi dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah dan Kerajaan-Nya. Mencintai dan melekatkan diri pada harta bukan jaminan hidup kekal, tetapi kedekatan dan kepercayaan yang penuh kepada Tuhan yang menjamin hidup kita. Jadi, kehidupan kekal tidak berbicara soal kemampuan manusia untuk berbuat baik, melainkan karya Allah dalam diri orang yang merespons anugerah-Nya dalam Kristus (25-26).
Allah tidak melarang umat-Nya memiliki kekayaan dan hidup makmur. Namun, mencintai dan melekatkan diri pada harta lebih dari Allah sama artinya pemberhalaan. Jadi waspadalah terhadap sikap kita terhadap harta, jangan sampai harta menjadi tuhan untuk diri kita sendiri. Amin.
AMDG. Pst. Y.A.
St. Ignatius, Manado