Merenungkan Sabda
Kamis, 12 September 2024
Pekan Biasa XXIII
(1Kor.8:1b-7.11-13, Luk.6:27-38)
Kemarin kita sudah mendengarkan ajaran keutamaan tentang nilai Kerajaan Allah. Allah menjadi tujuan kehidupan kita. Apa yang kita miliki didunia ini hanyalah sementara. Dan janganlah menyandarkan kehidupan kita kepada yang sementara, tetapi kepada Allah dan kuasa-Nya, yang menjamin kehidpan kita.
Kali ini Yesus juga manantang kita untuk mempraktekan pola hidup dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai kerajaan Allah yang ditandai oleh sikap radikal, “mengasihi musuh”. Dalam praktek kehidupan umum, mereka yang tidak sepaham, tidak mendukung bahkan tidak cocok dengan kita, atau tidak sesuai dengan gambaran pikiran kita, tidak selevel, lalu kita pandang mereka sebagai musuh; membenci, menyingkirkan bahkan memandang mereka remeh. Sangat mudah kita memberi kategori dalam relasi: teman atau sahabat karena mendukung dan cocok dengan pribadi saya, sementara yang tidak cocok atau tidak mendukung kita anggap bukan siapa-siapa atau musuh kita.
Sebagai Pribadi yang mengarah pada nilai Kerajaan Allah, mengasihi musuh adalah tindakan yang perlu diperjuangkan dan dilakukan. Sikap ini diwujudkan dalam dua tindakan konkret. Yang pertama ialah “berbuat baik” — bukan secara pasif melainkan secara proaktif di tengah serangan dan permusuhan terhadap kita: berbuat baik, memberkati, mendoakan, memberikan pipi yang lain, bahkan jubah dengan bajunya juga (27b-29; 33; 35b). Yang kedua ialah “memberi” atau “meminjamkan” dengan ikhlas “tanpa mengharapkan balasan” (30; 34; 35c; 38). Inilah implikasi dari ucapan bahagia: pengikut Yesus dipanggil untuk membentuk suatu umat, warga Kerajaan Allah, yang ciri utamanya ialah tidak memperlakukan orang lain (khususnya mereka yang “membenci, mengucilkan, mencela dan menjelekkan” kita) sebagai musuh. Yang Yesus minta dari murid-murid-Nya ialah menerima nilai-nilai yang memutarbalikkan tata cara dunia sosial; kalau dunia membenci maka kita harus mengampuni, mengasihi dan berbuat baik.
Tentu Pola hidup dan perilaku ini haruslah berakar pada karakter Allah sebagai Bapa yang murah hati, termasuk kepada mereka “yang tidak tahu berterima kasih dan jahat”. Orang-orang semacam ini lazim dipandang sebagai “musuh”, tetapi tidak bagi orang yang kristiani. Kemurahan hati Allah itu harus kita terjemahkan pula dalam tindakan: tidak menghakimi tetapi mengampuni, tidak menonjolkan kesalehan sendiri dengan membersar-bersarkan kelemahan orang lain. Kemurahan hati Allah yang berlimpah diibaratkan seperti pedagang di pasar yang tidak pelit, melainkan mengisi takaran atau timbangannya penuh-penuh, bahkan meluap ke luar (38). Demikian tindakan belas kasih Allah yang besar kepada manusia.
Tindakan bermurah hati seperti Bapa bukanlah perkara mudah, tetapi hal itu tidak mustahil. Yang terbuka hatinya terhadap Sabda Allah dan belajar untuk mengampuni, akan mampu mempraktekan kemurahan hati Allah ini. Amin.
AMDG. Pst. Y. Alo,
St. Ignatius, Manado