7 Mei 2017,
Minggu Paskah IV:
Kis.2:14,36-41; 1Pet2.20b-25; Yoh.10:1-10.
Dalam bacaan Injil pada hari ini Yesus serentak berbicara tentang dua hal berbeda tetapi saling berhubungan: Pintu dan Gembala. Keduanya menjadi satu dalam diri Yesus. Apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Ia mengatakan bahwa Ia adalah pintu? Bacaan pertama dan kedua kiranya boleh menjadi jawaban yang pas. Dalam kedua bacaan itu Petrus adalah tokoh utama. Dalam bacaan pertama ditampilkan orang-orang yang telah mendengar pewartaan dari Rasul Petrus sesudah Pentakosta. Mereka begitu tergerak. Hati mereka begitu tersentuh. Kesadaran mereka diperbaharui. Pewartaan Petrus akhirnya menghasilkan buah. Sebuah pewartaan yang berasal dari pengalaman pribadi. Mereka akhirnya membuka diri dengan bertanya: “Lalu apa yang harus kami perbuat?” Jawab Petrus: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dalam nama Yesus untuk pengampunan dosa!” Inilah cara untuk melewati pintu yang dimaksud: dibaptis menjadi pengikutNya. Seluruh hidup seorang kristiani seharusnya selalu sejajar dengan pembaptisannya, yaitu dengan melewati pintu yang maksud, yaitu Kristus sendiri.
Dalam bacaan kedua Petrus memberikan peneguhan kepada umatnya yang berada dalam penganiayaan karena pilihan mereka mengikuti Yesus. Penganiayaan ini adalah konsekuensi yang harus diterima dengan bersandar pada teladan kesetiaan yang telah ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Petrus menegaskan: “Kristus telah menderita untuk kamu, dan telah meninggalkan teladan bagimu supaya kamu mengikuti jejakNya”. Inilah arti lain dari “pintu” yang dialamatkan kepada Yesus. Kita diminta untuk mengikuti Dia, melewatiNya, dalam arti melakukan apa yang telah diperbuatNya sendiri.
Petrus lebih lanjut menjelaskan bahwa kesabaran selalu harus menjadi bagian dari hidup yang penuh derita ini: Yesus tidak membalas dengan caci maki ketika Ia dicari, dan Yesus tidak mengancam ketika Ia menderita.
Melewati pintu yang adalajh Yesus sendiri artinya meneladani apa yang telah ditinggalkanNya bagi kita, menjalani hidup sebagaimana Ia telah hidup, khususnya memikul salibNya dengan penuh cinta. Yesus tidak memberontak, tidak mengerahkan massa, tidak memakai kekerasan, Ia justru menjalani semuanya dengan kerendahan hati. Ia sungguh seorang gembala, tidak hanya baik, tetapi amat baik.
Gereja juga selalu menegaskan bagaimana kedudukan Yesus sebagai pintu. Setiap doa diakhiri dengan rumusan “dengan perantaraan Kristus”. Setiap doa Gereja melewati Pintu-Yesus untuk bisa sampai kepada Bapa. Gereja menegaskan bahwa Yesus adalah perantara, perantara dari sebuah Perjanjian yang Baru.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih setia melalui Pintu yang mengarahkan kita kepada keselamatan itu? Ataukah kita sudah lebih cenderung memakai pintu lain yang kelihatan lebih menarik dan lebih indah? Apakah kita masih bisa mendengar suara sang Gembala sejati yang tetap setia memanggil kita? Ataukah kita sudah lupa dengan kekhasan suara Gembala kita? Mungkin kita juga lebih tanggap dalam menanggapi suara-suara lain yang menjerumuskan ke dalam pencobaan.
Don STop