Minggu 14 Mei 2017,
Pekan Paskah V: Kis.6:1-7; 1Pet.2:4-9; Yoh.14:1-12
Yesus tahu persis apa yang dirasakan oleh para murid malam itu. Ketika Ia menyampaikan rencana perpisahan dengan murid-murid yang sudah Ia tuntun selama kurang lebih tiga tahun, pasti para murid itu merasa sedih, kosong, bingung dan tentu saja galau. Yesus menangkap suasana batin itu. “Janganlah gelisah hatimu !” Yesus sudah pernah mengalami suasana seperti itu sebelumnya. Yesus sudah pernah mengalami perasaan yang gundah gulana, Yesus sudah tahu apa arti dari perasaan yang tersayat oleh kesedihan. perasaanNya berkecamuk ketika Maria meratapi kematian Lazarus saudaranya yang juga adalah sahabat karibNya. Yesus sungguh tahu apa arti dari sebuah kehilangan, apalagi ketika dengan berat hati ia menyampaikan bahwa salah satu dari orang yang menyertaiNya selama ini adalah pelakunya. Hancur !!!
Yesus tahu para murid kelak akan merasa ditinggalkan, tersisih, terabaikan, dan tidak ada masa depan. Mereka butuh jaminan bahwa sesudah kepergian Yesus mereka tetap dijaga dan ditemani serta dipelihara. Di mana tempat yang ada jaminan seperti itu? Di mana tempat yang ada rasa aman yang sungguh murni seperti itu ? Tidak lain adalah di rumah BapaNya. Bahkan Yesus berani mengatakan bahwa tempat yang tersedia sangat banyak, cukup untuk mereka semua. Siapa saja boleh dan dapat menemukan ketentraman serta pelindungan di dekat Bapa yang penuh kasih. Tidak ada seorangpun lagi yang merasa diabaikan, tidak ada seorangpun lagi yang merasa ditelantarkan atau disepelekan.
Kalau minggu sebelumnya Yesus menegaskan bahwa diriNya adalah “pintu” yang akan dilalui sekaligus “gembala” yang akan menuntun mereka, maka kali ini Yesus menampilkan diriNya sebagai “Jalan”. Di sinilah keistimewaannya; Yesus menegaskan bahwa Ia adalah jalan satu-satunya, jalan yang paling pasti, jalan yang paling aman, jalan yang paling menjanjikan. Orang yang berjalan dengan mengambil resiko mengambil jalan sendiri akan berhadapan dengan bahaya, mereka akan berjalan dalam ketidakpastian, mereka akan menemui kegagalan. Itulah sebabnya Yesus masih menambahkan bahwa Ia adalah juga “Kebenaran dan Kehidupan”. Mereka yang masuk melalui Pintu yang benar, dituntun oleh Gembala yang Baik di Jalan yang benar pula akan menemukan Kebenaran dan Kehidupan.
Kita mungkin juga dalam banya peristiwa hidup masih mengalami kegalauan dan ketidakpastian. Seperti Thomas yang mewakili teman-teman murid yang lain, mungkin kita juga akan merasa ragu-ragu sehingga kita bertanya: “Torang nentau mo kamana, kong mo iko jalan mana dang?” Atau malah kita seperti Filipus yang masih menuntut bukti fisik keberadaan Bapa karena kita masih ragu akan kemahakuasaan dan kemahabaikanNya.
Siapa yang tidak ingin bahagia? Kita semua tentu mendambakannya, bahkan ada yang mengupayakan kebahagiaan itu dengan segala macam cara termasuk dengan merugikan orang lain. Keinginan untuk hidup bahagia pasti menjadi dasar dan alasan mengapa kita masih tetap bertahan hidup. Filipus merasa cukup bahagia walaupun hanya dengan memandang Bapa saja. Filipus membutuhkan satu pengalaman pribadi yang bisa membuat dirinya tunduk dan takhluk kepada kemahakuasaan Bapa, dan itu akan membuat dirinya percaya. Tentu saja permintaannya tidak bisa dipenuhi. Filipus lupa bahwa justru kepercayaan itu mengandung penyerahan diri total termasuk kepada hal-hal yang seolah-olah tidak pasti.
Don STop