2 April 2017,
Minggu Prapaskah V:
Yeh.37:12’14; Rom.8:8-11; Yoh.11:1-45
Liturgi hari ini menuntun kita untuk mempersiapkan diri menyongsong misteri Paskah Yesus yang semakin mendekat, dengan merenungkan bacaan injil yang memuat tema tentang kemenangan atas maut. Sesungguhnya misteri Paskah Yesus tidak lain adalah sebuah misteri kematian dan kebangkitan; kematian yang mengalahkan kematian itu sendiri. Kita semua diundang untuk berani memasuki dan mengalami misteri itu dengan jaminan harapan akan kemenangan atas maut itu.
Bacaan pertama sebenarnya sudah menampilkan sebuah janji akan adanya kebangkitan. Nabi Yehezkiel dengan penuh keyakinan telah bernubuat atas nama Allah bahwa akan ada kebangkitan: “Sungguh, Aku akan membuka kubur-kuburmu dan akan membangkitkan kamu dari dalamnya, hai umatku. Dan Aku akan membawa kamu ke tanah Israel !”. Sejajar dengan itu, bacaan kedua dengan jelas juga telah memberi jaminan lewat kata-kata Paulus kepada umat di Roma bahwa tubuh kita akan dibangkitkan oleh Yesus jika Roh Allah tinggal di dalam diri kita.
Kisah dalam injil pada hari ini dengan sangat jelas menampilkan bagaimana Yesus bisa mengalahkan maut sekaligus membawa hidup baru, dan Dia sendiri juga berkata bahwa Dialah kebangkitan dan kehidupan itu. Kisah pembangkitan Lazarus kiranya bisa membantu kita untuk mengenali siapa Yesus yang akan dirayakan pada hari raya Paskah nanti. Kisah ini sesungguhnya memuat banyak pesan jika ditelusuri lebih dalam. Peristiwa ini terjadi ketika Yesus sedang menyingkir di seberang sungai Yordan menghindari orang-orang yang mau merajamNya di wilayah Bait Allah. Ketika mendapat kabar tentang Lazarus yang sakit di Betania, seharusnya Yesus segera pergi mengunjunginya, tetapi Yesus masih mengulur waktu. Dua hari kemudian Yesus memberanikan diri kembali ke Yudea untuk melawat Lazarus. Yesus sedang mempertaruhkan nyawaNya. Yesus mengambil resiko yang mengancam keselamatanNya. Yesus terlambat, Lazarus keburu meninggal.
Baik Marta maupun Maria, keduanya mengatakan hal yang sama: “Seandainya Yesus ada di situ pasti Lazarus tidak akan mati”. Jangankan mati, sakitpun pasti tidak akan dialami oleh Lazarus jika sahabat karibnya itu ada di situ. Yesus pasti tidak akan tega melihat sahabatNya sakit, Yesus tidak mungkin akan membiarkan sahabatNya itu terbaring lemah, tidak mungkin. Tetapi ternyata kenyataan menjadi lain. Yesus terlambat, karena ketika Lazarus sakit, Yesus justru berada di tempat lain.
Keterlambatan Yesus juga dipahami oleh Marta dan Maria. Bagi Lazarus juga sudah terlalu terlambat untuk dibangkitkan: ia sudah berbau busuk. Sesudah empat hari tubuh manusia yang telah meninggal pasti sudah mulai mengalami penguraian. Tetapi apakah benar demikian di hadapan Yesus? Kematian seorang sahabat pasti menimbulkan duka yang sangat mendalam. Menangis adalah reaksi manusiawi, normal, lumrah dan nyata. Kembali ke Yudea adalah tindakan penuh resiko, Yesus harus berani menghadapi ancaman kematian yang disampaikan oleh orang Yahudi. Yesus pun memilih resiko itu: menghadapi ancaman kematian. Dan terjadilah seperti apa yang diberitakan injil; Lazarus dipanggil keluar dari kuburnya. Lazarus tidak ditarik keluar, tetapi disuruh keluar. Dan ia menaati panggilan Yesus itu. Luar biasa, bahkan orang yang sudah mati empat hari pun taat kepada Yesus. Daging yang katanya sudah membusuk itu tidak bisa berbuat lain selain taat kepada Dia yang mendapat kuasa ilahi. Seperti Marta dan Maria, Lazarus pun mengungkapkan imannya kepada sahabatNya, Yesus, dengan cara yang luar biasa: ia menanggapi perintah Yesus dengan berjalan keluar dari kuburnya sendiri. Ia yang empat hari lalu diusung dan dibaringkan di dalam kubur, kini berjalan meninggalkan kubur gelap itu. Ia menembus tabir maut, ia mendekati suara yang penuh kuasa ilahi, sekarang ia pun telah kembali ke tengah-tengah orang yang hidup. Yesus sahabatnya sungguh-sungguh Tuhan atas orang hidup. Kematian tidak menutup pendengarannya atas sapaan keselamatan. Kegelapan dunia orang mati tidak mampu meredam suara penuh kasih dari sahabatnya. Hai, maut, di manakah kemenanganmu? Mana sengatmu?
Saudara-saudari terkasih, maukah kita meninggalkan kegelapan “kubur-kubur” kita masing-masing yang masih terus menghimpit kita? Maukah kita berjalan meninggalkan gelapnya dunia untuk menjumpai sang terang yang terus memanggil di luar? Maukah kita menanggalkan lilitan “kain kafan” yang terus membalut diri kita sehingga kita begitu susah menolong sesama? Maukah kita membuka telinga dan hati kita terhadap jeritan dan tangisan sesama yang membutuhkan? Mari keluar, mari bangkit, mari berbagi, mari mendekati keselamatan.
Don STop