Minggu 10 November 2024
(1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44); Hari Minggu Biasa XXXII
Kata “peduli” mungkin terdengar sederhana, tetapi sebenarnya memiliki makna yang mendalam dan kompleks. Menurut para ahli, peduli adalah kemampuan untuk merasakan dan memerhatikan keadaan orang lain atau lingkungan sekitar kita. Hal ini melibatkan simpati, empati, dan tindakan nyata untuk membantu orang lain. Peduli bukan hanya tentang memberikan bantuan fisik, tetapi juga melibatkan perhatian terhadap kebutuhan mental dan emosional orang lain. Peduli juga melibatkan kesediaan untuk mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan dukungan moral kepada orang-orang yang membutuhkan. Peduli memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari kita. Ketika kita peduli terhadap orang lain atau lingkungan sekitar, kita menciptakan ikatan sosial yang kuat dan membangun komunitas yang saling mendukung.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menuntun kita untuk mengerti dengan baik dan merenungkan dengan seksama tentang pentingnya memiliki “hati yang peduli”. Salah satu wujud memiliki hati yang peduli adalah memberi dengan ikhlas tanpa ada paksaan apapun demi kebaikan orang lain.
Bacaan pertama dari Kitab Pertama Raja-Raja, berkisah tentang perjumpaan antara nabi Elia dan seorang janda tanpa nama di Sarfat. Nabi Elia menjumpai janda itu di gerbang kota, sedang mengumpulkan kayu api. Nabi Elia meminta kepada janda itu sedikit air dan sepotong roti untuk di makan. Janda di Sarfat itu dengan jujur mengakui di depan nabi Elia bahwa ia hanya memiliki segenggam tepung di dalam tempayan dan sedikit minyak di dalam buli-buli. Melalui janda di Sarfat, Tuhan berkarya untuk menolong dan menampung Elia selama beberapa waktu dalam tugasnya. Kepedulian janda itu bukan saja memberikan pertolongan kepada Elia, namun juga menyelamatkan hidup keluarganya.
Di tengah sulitnya kehidupan pada masa kekeringan saat itu, janda Sarfat ini mau untuk tetap menampung Elia dalam rumahnya. Kemauan untuk menjawab panggilan Tuhan ini kemudian mencukupkan kebutuhan makanan di rumahnya. Kemauan untuk menjawab panggilan Tuhanlah yang kemudian justru membawa keselamatan bagi keluarga janda ini. Demikian pula Elia yang diutus untuk tinggal di rumah janda itu, Elia pun digugah kepeduliannya terhadap keluarga janda itu agar dia turut menolong dan mendoakan janda dan keluarganya itu. Kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan inilah yang kiranya sangat menonjol dalam kisah ini.
Pada masa dan waktu yang berbeda, Tuhan Yesus juga menunjukkan bahwa kesulitan dan tantangan dalam kehidupan justru membawa orang untuk semakin setia kepada Tuhan dan peduli kepada sesama. Melalui kisah janda yang memberikan persembahan bagi Allah dengan seluruh nafkahnya itu, Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kepedulian itu tumbuh dalam keadaan hidup yang sulit. Meskipun kehidupan para janda pada saat itu selalu menjadi korban dari kekuasaan yang dapat memanipulasi ajaran agama, namun janda tua itu tidak kehilangan imannya. Dia justru lebih berpengharapan kepada Tuhan dan tetap memberikan persembahan kepada Tuhan dengan setia. Tuhan memakai kehidupan janda tua yang serba sulit dan terbatas itu untuk menyatakan belaskasih dan kepedulianNya.
Pada hari ini kita merasa dikuatkan oleh dua orang yang lemah di mata manusia tetapi kuat di mata Tuhan, yakni janda di Sarfat dan janda di Yerusalem. Kedua-duanya tidak memiliki nama, untuk mewakili kita semua supaya dalam memberi jangan pernah berpikir untuk menerima. Apa yang diberikan tangan kiri janganlah diketahui tangan kananmu. Mereka berdua memberi dengan sukacita karena memiliki hati yang peduli dengan sesama.
Tuhan Yesus telah memberi teladan dan menunjukkan bagaimana memiliki “hati yang peduli”. Penulis surat kepada jemaat Ibrani sangat jelas menulis: “Yesus Kristus adalah Imam Agung yang satu kali saja mengurbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang”. Para imam yang masuk ke dalam bait Suci, mereka mempersembahkan kurban bakaran berupa hewan tetapi tidak mengurbankan dirinya sendiri. Hanya Yesus Kristus yang melalui salib, mengurbankan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya.
Dalam kerangka berpikir ini dapat dipahami bahwa pengorbanan Kristus itu dikontraskan dengan korban yang dilakukan Imam Yahudi sekaligus menekankan kasih Allah yang peduli pada manusia yang terjebak dalam jerat dosa. Karena dengan cara apapun yang dilakukan oleh manusia, mereka tidak dapat lepas dari dosa. Namun dengan pengorbanan Kristus itulah, manusia dapat terluput dari penghukuman Allah. Ini merupakan sebuah manifestasi yang nyata dari kepedulian Allah terhadap manusia.
Kita berada dalam minggu-minggu terakhir dalam penanggalan liturgi gereja dan akan memuncakinya pada Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Bacaan-bacaan Kitab Suci mau mengarahkan pandangan kita ke depan pada akhir dari perjalanan hidup kita di dunia dan berharap untuk nanti diperkenankan memasuki hidup baru sambil menikmati perjamuan abadi yang Tuhan Yesus siapkan. Salah satu jaminan untuk kelak layak ambil bagian dalam perjamuan abadi itu adalah memiliki hati yang peduli: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”.(RD. Fecky Singal – Paroki Katedral)
Ya Yesus, gerakkanlah hati kami agar selalu mampu peduli kepada sesama. Amin