PF S. Kosmas dan Damianus, Martir
Selasa Pekan Biasa XXV
Bacaan 1 : Ezr 6:7-8.12b.14-20
Mazmur : Mzm 122:1-5
Injil : Luk 8:19-21
Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas:
Pada suatu hari datanglah Ibu dan saudara-saudara Yesus hendak bertemu dengan Dia. Tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak. Maka diberitahukan kepada Yesus, “Ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin bertemu dengan Dikau.” Tetapi Yesus menjawab, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya.”
Demikianlah Injil Tuhan.
Renungan: Memaknai Relasi Dalam Keluarga
“Ibuku dan saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya”
Ungkapan Yesus ini sangat penting untuk memaknai relasi kita dalam keluarga yakni relasi orang tua dan anak-anak, suami istri, kakak adik, maupun relasi dalam keluarga yang kita sebut komunitas atau kolegialitas.
Sikap Yesus sehubungan dengan keluargaNya menunjukkan inti utama sebuah keluarga. Ibuku, saudara-saudaraku bukanlah sekedar “so begitu” (dari sononya sudah ayah-ibu-kakak-adik), “taken for granted”, Â sekedar hubungan darah. Bila diterapkan untuk komunitas atau kolegialitas prinsipnya sama. Kolegialitas dan komunitas para imam/religius, bukan karena “so bagitu”, sama-sama sudah ditahbiskan imam, sama-sama suster, frater bruder, sesama anggota komunitas karena sudah menjadi anggota.
Bila keluarga dilihat seperti ini, maka yang terjadi adalah relasi yang tidak dalam, tidak berakar kuat dan karenanya mudah retak dan terpecah belah.
Bukan karena satu nama, satu status, satu komunitas, (bisa ditambahkan: satu group) lantas relasi itu akan terbangun dengan sendirinya. “Dia kan papa saya, mama saya, adik/kakak saya, saudara saya, teman sekomunitas saya… Seharusnya dia mengerti saya. Masing-masing kan sudah tahu peranannya, tanggungjawabnya….”
Inilah yang disebut relasi hanya berdasarkan “asumsi” (pengandaian). Bukan relasi yang dalam dan sejati.
Betapa sering kita mendengar bahwa ada orangtua tidak mengenal anaknya. (padahal asumsinya harusnya kenal). Anak tidak mengenal dan memahami orangtuanya. Suami tidak mengenal istrinya dan sebaliknya. Teman-teman imam tidak dekat dan tidak mengenal rekan imam/suster/fraternya. Karena hanya asumsi bahwa karena sudah termasuk dalam keluarga dan komunitas maka sepantasnya sudah saling mengenal.
Relasi yang tidak dalam seperti ini menyebabkan orang tidak mau masuk lebih dalam. Basa-basi. Yang penting sudah mengucapkan selamat hari ulang tahun sudah cukup. Sudah mengikuti kegiatan bersama sudah cukup. Yang selebihnya biarlah itu urusan masing-masing.
Jangan heran bahwa anggota keluarga sering merasa tidak dicintai, tidak diperhatikan, tidak dimengerti, tidak diterima, tidak dihargai, tidak didukung, berjuang sendiri, dan seterusnya. Sekalipun di tengah keramaian keluarga, dia merasa sepi, dan terlebih lagi, merasa hampa. Apalah artinya sebuah keluarga bila ada anggotanya yang merasa seperti ini. Kelihatan di luar begitu bagus, ternyata di dalam begitu rapuh, bahkan tanpa makna.
Sedih juga mendengar bahwa seorang anak lebih dekat dengan temannya daripada orangtuanya. Suami lebih dekat dengan koleganya daripada istrinya.
Kata-kata Yesus dalam Injil hari ini mengenai keluargaNya, siapakah ibu dan saudaranya, kiranya menjadi otokritik relasi kita satu sama lain, agar kita bisa lebih memaknai arti relasi dalam keluarga. Yesus mengatakan bahwa ibuKu dan saudaraKu adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan melaksanakannya.
Maksudnya: sebuah keluarga hendaknya dibangun dengan prinsip-prinsip hakiki yakni Firman Allah.
Contoh prinsip yang diberikan kepada kita adalah 10 perintah Allah.
Perintah 1-3 menyangkut relasi kita dengan Allah Bapa, Allah Tritunggal Mahakudus. Ada kewajiban-kewajiban yang mesti kita penuhi untuk 3 perintah ini.
Perintah 4-10 adalah relasi kita dengan sesama. Dimulai dengan “hormatilah ayah dan ibumu”. Perintah ini kemudian disatukan dalam Kitab Ulangan sebagai “Hukum Cinta Kasih” agar perintah ini didasarkan pada cinta kepada Tuhan dan sesama.
Dalam Injil perintah cinta kasih ini dijabarkan oleh Yesus dalam berbagai bentuk praktek cinta, baik melalui contoh perumpamaan dan ajaran, maupun praktek cintakasih oleh Yesus sendiri.
Hal ini terlihat dalam relasi Yesus dengan BapaNya, murid-muridNya, keluargaNya (Yesus-Maria-Yosep, sebuah contoh para pelaku firman), kenalan dekatNya, dan kalayak ramai. Ambil contoh misalnya dalam hal memgampuni, bagaimana seharusnya menegur dan mengadili, bahkan dalam hal memarahi.
Semuanya memuncak dalam perjamuan malam terakhir dan penyalibanNya yang tidak lain adalah pengorbananNya untuk kita semua.
Menanggapi sabda Tuhan ini mari kita bermenung: sejauh mana kita mengenal, mencintai dan membantu anggota keluarga dan komunitas kita?
Sudahkah 10 Perintah Allah menjadi prinsip relasi kita dengan Tuhan dan sesama?
Penulis Renungan: