Merenungkan Sabda
Jumat, 19 Juli 2024
Pekan Biasa XV
(Yes.38:1-6.21-22, Mat. 12:1-8)
Konfrontasi Yesus dengan orang-orang Farisi sebenarnya bertujuan menawarkan pembebasan keterkungkungkungan atas paham mereka. Orang-orang Farisi memiliki pengetahuan tentang tradisi Yahudi, Hukum Taurat, termasuk aturan Sabat. Namun, pengetahuan itu justru membutakan hati mereka sehingga mereka tidak mengenali Allah dan kehendak Allah yang sesungguhnya.
Yesus memberi mereka, tetapi juga kepada kita semua, sebuah pelajaran berharga: kadang ada orang berpikir bahwa hidup beragama itu baik kalau sudah menaati peraturan dan perintah-perintah secara harfiah. Hidup keagamaan menjadi begitu kaku dan bisa menjadi kurang manusiawi. Ada orang justru menderita dan membuat orang lain susah karena menjalankan peraturan agama yang tidak tepat. Sedangkan, Tuhan menghendaki belas kasihan, pengampunan dan keselamatan manusia dengan menjalankan dan menghayati perintah-Nya.
Dari kebenaran itu, kita memahami bahwa hubungan kita dengan Tuhan tak bisa dilepaskan dari hubungan kita dengan sesama. Sebagai orang beriman, tentu kita “menerima aturan atau perintah” untuk membawa persembahan kepada Tuhan berupa harta atau barang-barang berharga, namun akan lebih penting ketika “persembahan” itu dalam situasi tertentu digunakan untuk menolong sesama dari bahaya kematian, kemiskinan, atau kelaparannya. Ya, sebagai orang beriman, kita tidak boleh menutup mata terhadap keprihatinan yang menyelimuti sesama. Karena Yesus sendiri memberi teladan: Ia berbelas kasihan kepada kemalangan kita hingga rela memberikan nyawa-Nya di kayu salib.
Yesus mengajak kita semua, orang-orang percaya melalui kritikannya kepada orang Farisi untuk menggali nilai-nilai cinta kasih di dalam ketentuan-ketentuan keagamaan yang melampaui aturan-aturan formal. Sikap Yesus menjadi contoh bahwa kita pun lain kali harus bersinggungan dengan orang lain demi menyatakan kebenaran iman. Jika ada penghayatan iman dan praktek keagamaan yang keliru perlu diluruskan. Namun, terlebih dulu kita harus berani mengoreksi diri sendiri supaya kita mengalami pembebasan partisipatif yang Yesus tawarkan. Barulah sesudah itu kita memperbaiki keadaan yang ada disekitar kita. Jangan sampai kita cuma suka mekritik tapi diri kita sendiri jauh dari keutamaan dan praktek iman yang sesungguhnya. Sikap ini masih banyak di kalangan umat kita; mengkritik, memberi usul paling vocal tetapi tiba pada pelaksanaan, dia mundur perlahan-lahan. Atau juga ada sikap suka mempersalahkan orang, tetapi ketiak diajak untuk berefleksi, pendalaman iman, rekoleksi atau workshop, orang enggan datang. Orang-orang yang tidak pernah mau melihat dirinya dan suka mengkritik, sama dengan orang-orang Yahdui yang dihadapi Yesus pada Zamannya. Mudah-mudahan kita bukan tipe seperti ini. Amin.
AMDG. Pst. Y.A.
St. Ignatius, Manado