Merenungkan Sabda
Selasa, 23 Juli 2024
Pekan Biasa XVI
(Mi.7:14-15.18-20, Mat.12:46-50)
Perlulah kita akui dengan bangga bahwa kepercayaan yang kita imani sungguh benar dan luar biasa karena kita hayati sesuai dengan ajaran dari Tuhan. Iman Katolik tidak menekankan jalinan kepercayaan pada soal nepotisme atau soal kekerabatan. Karena Yesus menghendaki bahwa kekerabatan itu tidak hanya didasarkan pada hubungan darah tetapi berdasarkan pada kepatuhan untuk melaksanakan Sabda Allah. Seseorang diselamatkan bukan karena memiliki hubungan darah melainkan karena melaksanakan kehendak Tuhan.
Pada Lembaga-lembaga tertentu, baik itu Lembaga kemasyarakatan maupun Lembaga keagamaan sangat kental dengan urusan nepotisme ini. Misalnya dalam institusi kemasyarakatan, seorang yang diangkat menjadi kepala daerah akan berusaha mengangkat kelurganya untuk ambil bagian dalam kekuasaan. Meskipun nepotisme itu sudah berusaha dihapus, tetapi kenyataannya sungguh jelas. Jika sudah menduduki jabatan, apalagi jabatan orang nomor satu, maka istri/suami, anak, bahkan saudaranya akan mendapat kedudukan. Semua yang terkait dengan kerabat akan mendapat bagian kue jabatan.
Bukan hanya dalam dunia politik atau birokrasi, tetapi dalam institusi keagamaan tidak luput dari nepotisme ini. Ada agama yang mengadakan suksesi kepemimpinan dalam jemaat berdasarkan kekerabatan. Jika suaminya berhenti sebagai ketua dalam pelayanan jemaat, maka jabatan itu diwariskan kepada Istri atau anaknya. Jika Hamba Allah-nya berhalangan atau meninggal maka jabatan biasanya diwariskan kepada keluarganya. Lebih miris lagi untuk mendapat dukungan dan popularitas, seorang menganggap dirinya keturunan atau kerabat dari seorang Nabi. Pikiran ini tidak masuk akal, bagaiman Nabi yang dilahirkan di Israel sana atau di Timur Tengah, tiba-tiba punya keturunan di Indonesia. Pikiran yang menyesatkan. Tapi begitulah seseorang ingin memperkenalkan diri agar diikuti oleh banyak orang.
Yesus sudah mengajarkan: “inilah ibu-Ku, inilah saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku, dialah saudari-Ku, dialah ibu-Ku”. Iman kita tidak mengenal soal warisan iman hanya kepada anggota keluarga tetapi kepada siapapun yang mau percaya dan melaksanakan Sabda Tuhan. Kita tidak pernah melihat seorang Uskup menahbiskan keponakan atau cucunya tanpa melalui ketentuan dalam aturan Gereja. Atau dalam soal penempatan pelayanan, Uskup tidak pernah menugaskan secara special kepada anggota keluarganya di tempat-tempat tertentu. Dalam iman akan Kristus dan komitmen melaksanakan Sabda Allah, kita semua adalah saudara. Melaksanakan kehendak Tuhan-lah yang menjadi pengikatnya. Semoga…. Amin.
AMDG. Pst. Y.A.
St. Ignatius, Manado