PERAYAAN WAJIB S.YOHANES KRISOSTOMUS, USKUP DAN PUJANGGA GEREJA, RABU PEKAN BIASA XXIII
Pada waktu itu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis. Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu. “Demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.
Demikianlah Injil Tuhan
Renungan
Entah apa yang dirasakan Petrus, Yohanes dan teman-teman ketika dipandang Tuhan Yesus. Bisa dibayangkan cara memandang Yesus penuh kasih dan mendamaikan. Mungkin Ia menatap mereka satu demi satu untuk menunjukkan tatapan cinta Tuhan. Tatapan merangkul mempesona yang menunjukkan keakraban dan kedekatan tulus. Di hadapan tatapan Yesus, Petrus dan teman-teman teman tidak dapat menghindar, apalagi melarikan diri. Mereka sungguh mendapatkan perhatian personal yang menghantar mereka pada penyerahan diri kepada pribadi Yesus, Allah yang menjadi manusia.
Mendapatkan tatapan Yesus dan mendengarkan Ia berbicara tentang yang miskin, empunya kerajaan Allah, yang kelaparan akan dipuaskan, yang menangis akan tertawa dan akan berbahagia bila demi anak manusia orang dibenci, dikucilkan, dicela dan ditolak. Lagi-lagi entah apa yang dipikirkan dan dirasakan para murid ketika itu. Kitab suci tidak bercerita tentang protes, penolakan atau pertanyaan para murid. Padahal kalau kita pikirkan secara logis kata-kata Yesus agak susah dicerna, apalagi diterangkan.
Bagaimana mungkin yang miskin, lapar, menangis, dibenci, dikucilkan, dicela dan ditolak disebut berbahagia? Apalagi selanjutnya Yesus mencela mereka yang kaya, kenyang, tertawa dan dipuji. Bukankah realitas sebaliknya yang dirindukan setiap manusia? siapa ingin miskin? lapar, menangis. dibenci, dikucilkan, dicela dan ditolak? Bukankah kita diminta berjuang, berbuat, berusaha supaya hidup sejahtera, dikenal baik, berstatus sosial tinggi, boleh makan-minum sepuasnya dan tertawa menikmati hidup ini? Mengapa Petrus yang biasanya suka protes bahkan pernah menegur Yesus tidak bersuara apa-apa? Apa yang terjadi?
Saudaraku, tampaknya kita semua harus maklum mengapa tidak ada yang protes karena para murid mengalami apa yang paling penting dan mendasar dari ajaran Yesus itulah MEMANDANG dan DIPANDANG TUHAN. Kemiskinan dilihat sebagai tidak punya apa-apa, karena itu tidak ada penghalang baginya untuk memandang Tuhan. Satu-satunya yang dimiliki dan bisa dipandang adalah Tuhan. Kelaparan, kesedihan, dimusuhi orang membuat orang berjuang lari dan memandang Tuhan. Pengalaman ini dialami para murid ketika mendengarkan kata-kata Yesus. Mereka dipandang dan memandang Yesus, karena itu semuanya indah dan tidak ada yang perlu diprotes.
Yesus tidak pernah melarang orang memiliki harta, sejahtera, tertawa dan makan minum. Sabda Celaka adalah peringatan keras kepada kita semua untuk tidak menjadikan harta, kesejahteraan dan kesenangan menjadi penghalang bagi kita untuk memandang dan dipandang Tuhan. Mari berjuang memandang dan dipandang Tuhan agar boleh mengalami damai dan sukacita sejati sebagaimana dialami Petrus, Jakobus, Johanes dan teman-temannya. Agar kemudian kita boleh mewartakan pengalaman damai ini kepada orang lain sebagaimana dilakukan Santo Yohanes Krisostomus, si bibir emas, yang kita rayakan pestanya hari ini. Amin.