Homili Misa Requiem untuk Pastor Petrus John Karundeng, Selasa, 17 Oktober, yang dipimpin Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC, di Gereja Katedral Manado, sangatlah berbeda. Bapa Uskup tidak bicara panjang lebar. Teman-teman sekelas almarhum; Pst. Terry Ponomban dan Pastor Feighty Boseke diminta memberi kesaksian tentang beragam warisan Iman Pastor John Karundeng.
Keduanya berganti-gantian membagi pengalaman mereka bersama dengan Pastor Alm John. Kesaksian yang menyentuh dan menggugat nurani. Sebagian besar umat yang memadati Gereja Katedral terhenyak diam, meneteskan air mata. Delapan puluhan imam yang hadirpun terharu, diam merenungkan setiap kisah bermakna, refleksi mendalam kedua imam ini. (Baca: https://komsosmanado.com/memoriam-sahabatku-imam-rd-john-karudengrefleksi-pastor-terry-ponomban-pr/ ) Pastor Tery berdiri di mimbar samping kiri altar gereja dan mengawali kesaksiannya dengan satu kalimat indah; “Benih harus mati untuk bisa menghasilkan buah berlimpah”
Ya, Pst Terry mengatakan, banyak benih yang Pst John Karundeng tinggalkan sebagai Imam. Ketika hampir semua orang mengatakan, ia panjaha (Jahat), angker, seram, disiplin, karas pe karas. Orang lebih mengenal cover luarnya dan jarang mengenal isi dalamnya. Tak banyak orang tahu bahwa Pst John punya hati lembut bagai sutera, dia bisa menangis bersedih, dia bisa terenyuh atas duka derita orang kecil.
Bukan kebetulan, semalam, (Senin, 16 Okt) sesudah misa, ada seorang anak gadis, usia SMP, berjalan cepat-cepat keluar dan bertemu dengan Pastor Terry sambil terisak tangis. “Pastor Kita kwa mo sekolah besok, kong kita nda mo dapa antar pa Pastor John. (Pastor Saya mau sekolah besok, jadi saya tidak bisa mengantar Pastor John),” kata anak kecil itu sambil menangis. Adakah seorang yang jahat yang ditangisi dengan tulus oleh anak-anak yang mengalami sebuah cinta dan sebuah kasih. Masih pada saat yang sama seorang ibu beragama Budha menangis di depan jenazah Pst John Karundeng dan saat ketemu Pastor Terry, langsung mengungkap kesedihannya. “Pastor tidak bilang-bilang waktu pastor John sakit. Kenapa nanti saat ini baru saya tahu,” kata Ibu tersebut kepada Pastor Terry.
Ada air mata seorang wanita Budhist, bukan karena Pst John jahat, tapi karena ada hati, ada kasih lintas batas. Benar, ia keras dan tegas, seperti yang pernah dikatakan Alm; Saya tidak pernah takut, kalau benar demi kebenaran, bukan hanya mulut yang bicara, tangan dan kaki ikut bicara.
Pst Feighty kemudian menyambung kesaksian dengan suara basnya; Banyak orang tahu bahkan berteriak dan bersaksi: tanpa Pst John yang disiplin itu, mereka dulu lao-lao salah (Sebutan untuk Nakal), di SMA Amurang. Tidak akan menjadi orang seperti sekarang ini. Tanpa pastor John, mereka dulu jadi pelajar jalanan, hebatnya hanya hutang minuman di warung, tapi nilai-nilai di sekolah merayap.
Umat mengeluh, karena Pst John Karundeng sangat disiplin dalam perayaan Liturgi dan persekolahan. Anak-anak sekolah bahkan guru-guru minta ampun dengan disiplin dan hukuman-hukumannya. Tapi tahukah mereka, dibalik ketegasan itu ada emas dan ratna mutu manikam.
Umat dan para imam, termasuk Uskup makin tersentuh ketika Pst Terry mengundang Pst Barto untuk berbicara tentang Pst John Karundeng yang adalah gurunya sampai akhirnya Pst Barto menjadi Imam. Pst Barto diminta bercerita tentang pengalamannya dihukum pastor John, tidak mendapat komuni karena sementara Misa hanya bercerita di tempat duduk. “Saya disuruh balik ke tampat duduk tanpa menerima komuni. Waktu itu saya sangat malu. Takut juga jangan-jangan setelah Misa beliau akan menghukum saya,” kata Pst Barto yang pada waktu itu berdiri di samping Pst Feighty di mimbar kanan Altar. Pst Barto menambahkan semua yang pernah sekolah di Paroki Amurang pasti mengingat dengan benar betapa tegas dan kerasnya Pst John mendidik mereka. Tetapi buah-buah yang dihasilkannya sudah banyak. “Waktu saya masuk di Seminari, Pastor bangga dan senang sekali. Suatu ketika saat pastor bertugas di Lotta dan datang mengunjungi saya di Seminari, ia berpesan; Kamu harus jadi pastor seperti saya. Dan biarpun kamu kecil jangan sampai orang pandang enteng. Itulah yang selalu saya ingat dalam benak saya,” tutur Pst Barto.
“Saya bangga bahwa saya adalah salah satu dari buah yang dihasilkan dari sosok seorang Pastor John”. Melanjutkan ceritanya, pastor Barto yang bertugas di Paroki Hati Kudus, Tomohon ini, satu kali datang membawakan sakramen maha kudus kepada Pastor John di Rumah Sakit. Pastor Barto sungguh bersyukur, dulu pastor John tidak memberinya hosti karena dia bercerita saja di Gereja, kini dia membawakan hosti itu kepada Pastor John.
Pst Terry dan Pst Feighty menceritakan kesaksian iman dari Pst Alm John Karundeng bak sepasang pembaca puisi yang memainkan lakonnya dengan sangat apik. Membawakan kesaksian secara bergantian, membuat para pendengar tenggelam dalam kisah yang diceritakan. Banyak umat terenyuh. Sedih. Sesekali ada umat yang mencuri kesempatan membersihkan air mata dari pipi mereka. Bahkan juga ada crew Komsos yang sempat meneteskan air mata. Sungguh kesaksian dan refleksi Iman ini menyentuh hati.
Pst Feighty dengan suara khasnya melanjutkan, Pst John membela siapa yang harus dibela, dan menegur siapa yang perlu ditegur seperti motto tahbisannya yang penuh keberanian; Inilah Aku, Utuslah Aku. Bukan sebagai Imam yang mencari kesenangan sendiri tetapi Imam, Nabi yang melaksanakan kehendak Allah. “Kata orang Pst John jarang di tempat, jarang di kantor, jarang di pastoran. Benar, Pst John adalah Pastor in action, bukan di mulut, bukan di rapat-rapat, sebab parokinya adalah seluruh keuskupan, keperihatinan dan kepedulianmu adalah seluruh diosis ini,” Urai Pastor Terry yang matanya mulai berkaca-kaca. Lembah Napu jadi saksi bisu, ketika Pst John mensponsori transmigrasi lokal sekaligus untuk penanaman iman Katolik, agar orang-orang Katolik dari Minahasa, mau bertani, mau menjadi saksi, mau bermisi, mau menanamkan Iman Katolik di jantung Sulawesi Tengah.
Tujuannya agar Gereja memiliki sumbangsih bagi pertanian, bagi kesejahteraan rakyat di daerah tertinggal itu. Pst John pun merintis dengan impiannya yakni kebun raya Napu, mengatur air dan sungai agar cukup untuk pastoran dan cukup untuk masyarakat. “Dengan pelbagai tanaman dan bibit, dengan pelbagai upaya memanusiawikan orang lain termasuk penduduk asli setempat. Mungkin, mungkin, Uskup pun belum tahu, engkau masuk keluar balai desa, meyakinkan masyarakat untuk menjaga dan membela hutan, tentang manfaat tanah, tentang falsafah menanam dan pelestarian alam,” cerita Pst Terry dengan penuh semangat.
Saat Pst Terry terdiam sejenak, dari mimbar samping kanan dari altar terdengar Pst Feighty berkata; “John, saya masih ingat di rapat beberapa tahun lalu. Bapa Uskup dan Imam-Imam, mohon maaf. Berebutan durian dari Sentrum Agraris Lotta. Itu hasil tangan kotormu. Hasil keringat lelahmu. Hasil pandanganmu yang jauh ke depan. Kau menanam bukan untuk lehermu tapi untuk generasi lain. Oh pohon durian dan rambutan di Sentrum Agraris Lotta, berbicaralah kamu tentang Imam yang kotor tangannya tapi murni hatinya. Tentang Imam yang tak pernah bertanya kapan aku boleh cuti?, dan ke mana aku bisa cuti?, tetapi Imam yang bertanya what can I do for you?.
John, sambung Pst Terry lagi, “Engkau keras dalam berpendapat tetapi engkau sangat mendalam ketika ber-refleksi ; maka tak heran orang mengalami dirimu bagaikan inspirator, motivator. Bukan sekedar pendobrak, bukan sekedar revolusioner konyol. Bicaralah pastor Steven tentang John sang inspirator. Bicaralah pastor Steven apa yang kau alami dari Pastor John sebagai sumber inspirasi bagi Imamatmu,” kata Pastor Terry sambil mengundang Pastor Steven sharing di mimbar yang sama dengan Pst Terry.
Pst Steven yang duduk di bangku umat di deretan kedua, berdiri dan berjalan menuju mimbar. Maklum, sekitar 80-an Pastor yang hadir dalam misa requiem ini membuat seluruh panti Imam terisi penuh, sehingga pastor lainnya duduk di Bangku Umat paling depan samping kiri altar. Saat berjalan menuju mimbar, Pst Steven melempar senyum kepada keluarga Pst Alm. John Karundeng yang duduk di bagian depan bangku umat samping kanan altar.
Sebagai seorang frater calon Imam, saya dulu ditugaskan untuk menulis skripsi dan salah satu yang harus saya teliti adalah Komisi PSE, karena itu saya sering kontak Pst John untuk wawancara dan bertanya sana-sini. kata Pst Steven mengawali kesaksiannya. “Saya tidak mendapatkan yang rumit, akademik tetapi penjelasan yang sederhana. Saya bukan diajar berterori tetapi berbuat. Wawancaranya dibuat dalam percakapan di kebun, di kandang atau dimana saja di Lotta. Pastor John banyak mengajar tentang filosofi tanah. Filosofi bagaimana mencintai petani. Bagaimana berbuat dan terus berbuat. Saya sungguh begitu terinspirasi dengan kerasnya prinsip hidup, mesti berbuat, berbuat dan terus berbuat. Saya ingat ketika saya meminta Pastor John menulis pada waktu lima puluh tahun Seminari Pineleng, judul tulisannya adalah tangan kotor, hati bersih. Dan itulah Pastor John,” Cerita Pst Steven yang diakhiri dengan menyampaikan terima kasih.
Pst Terry langsung menyambung cerita; “Ternyata Pastor Steven sebelum Paus Fransiskus berbicara tentang Imam-Imam yang bekerja, berkeringat, kotor tangannya. John sudah terlebih dahulu. John, tanganmu memang kotor, kasar, tapi hatimu, hati Allah, hati Bapa yang peduli. Hati Bapa yang resah memikirkan domba-domba-Nya yang lain,” kata Pst Terry.
Pst Terry yang juga adalah Ketua Komisi Kataketik Keuskupan Manado ini menceritakan bahwa, meskipun Pst John sakit, tapi lebih peduli pada Pastor Terry dan teman-teman yang lain. Ketika beberapa minggu setelah Pst Terry sembuh sesudah serangan jantung, Pst Terry mengunjungi Pst John dan Alm Pst John berkata kepada Pst Terry bahwa Pst Terry beruntung tempat tinggalnya dekat kota, bisa langsung ditolong oleh dokter. Tapi, Pst Feighty kasihan. Kalau jadi apa-apa dengan Pst Feighty bisa abis di jalang kwa dia/Bisa Meninggal dalam perjalanan. “Engkau sementara kesakitan. Engkau sementara menderita, tapi hatimu pada orang lain. Hatimu pada kami yang sehat. Kau tak peduli sakit deritamu. Maafkan kami yg sehat malah kurang peduli padamu saat-saat kau sekarat,” ujar Pst Terry yang mulai meneteskan air mata.
Pastor Feighty yang sekarang ini bertugas sebagai Pastor Paroki Sinisir Modoinding ini melanjutkan; Kata orang, banyak yang terluka olehmu, pastilah ada, karena engkau bukan Imam yang mampu menyenangkan dan memuaskan semua orang, karena engkau lebih taat pada kenabian panggilanmu dari pada semangat menyenangkan orang. Asal bapa senang, asal ibu-ibu senang, asal umat sanang. Ada yang terluka, tetapi luka itu tidak membawa mati, bahkan membawa hidup. Berapa banyak orang yang ingat akan jasamu, membela yang kecil lemah, memperjuangkan kepedulianmu. Buktinya, ada orang yang merasa berutang budi padamu, merasa dibela, merasa diselamatkan, merasa ditolong, maka salahkah ketika orang-orang ini mengasihimu dan melayanimu bagai hamba di hari-hari berat dan hari-hari engkau paling mengalami pergumulanmu.
Suasana semakin mengantarkan umat pada gelinangnya air mata, Pst Terry melanjutkan kesaksian ini; Kata orang John, kau itu Pastor type tiada maaf, tiada ampun, engkau untouchable, bahkan katanya engkau mati rasa.
Dibalas dengan suara berat dari Pastor Feighty; Namun, engkaulah sang kakak yang dengan rendah hati bagai hamba meminta maaf dan memberi maaf. Engkau mungkin melukai tetapi engkau juga menyembuhkan. Kata Paus Fransiskus, tiada keluarga yang sempurna, tiada bapa, tiada ibu, tiada kakak, tiada adik yang sempurna, karena itu kita semua membutuhkan pengampunan dan pemaafan. Katanya ada orang yang terluka olehmu John, sambung Pst Terry. Benar engkau setuju juga. Tapi apakah ada orang yang cukup tau bahwa dirimu juga sakit dan terluka. Ketika engkau tidak diberikan tugas jelas, ketika engkau tidak diberikan pekerjaan jelas, 3 tahun lamanya engkau hidup terlunta-lunta bahkan sendiri. Tapi engkau tidak pernah marah, tidak dendam. Engkau tidak omong-omong kemana juga. Engkau ternyata bisa diam dan menanggung deritamu dalam Dia yang menguatkan engkau. Terima kasih umat Lotta, terima kasih suster-suster DSY yang menerimamu sebagai Imam mereka.
Terima kasih kepada Vikjen Emeritus, Pastor Piet Tinangon yang waktu itu meyakinkanmu kembali sampai kau siap bertugas lagi di Keuskupanmu yang kau cintai sampai nafas terakhirmu, tanpa keluh, tanpa mempersalahkan, bahkan kau bilang, kepada Suster Agustine Sumarauw kau malah malu minta bantuan kepada Keuskupan karena kau tahu pengobatanmu butuh biaya besar.
Isak tangis mulai terdengar di beberapa bangku umat, suasana semakin hening, kemudian Pst Feighty melanjutkan; Adakah yang tahu betapa engkau pemikir masa depan keuskupan. Rapat kerja barusan, saat-saat Pst John kian parah, Bapa Uskup menggugah dan menggugat kami imam-imam. Apa yang kamu buat untuk 50 tahun ke depan. Seperti misionaris-misionaris dulu, telah berpikir, telah berbuat untuk kita, untuk masa kini. Belum tahu barangkali uskup baru kita, bahwa sebagai imam muda engkau telah berpikir : pastor diosesan harus mampu berdikari juga, kita membutuhkan dana kehidupan, dana kesehatan, dana cuti dan lain-lain, bahwa kita perlu sumber yang bisa menghasilkan dana-dana itu, agar kita tidak jadi pengemis di tengah keuskupan sendiri. Pst John merintis tanah dengan perkebunan kelapa serta telaga-telaga, memperluasnya dengan sawah-sawah. Tenagamu, keringatmu mengucur deras, badanmu legam terbakar matahari.
Pst John menyewa alat-alat berat. Mencari rupa-rupa bibit dan benih, tak tahu kau cari duit dari mana, kami hanya tahu itu semua ada dan berjalan. “Jarang kami dengar kau cuti ke Jakarta, atau ke Bali, tak pernah kami dengar kau tamasya ke Bangkok atau kau dibawa orang pesiar ke luar negeri seperti saya. Kau imam pekerja, kau Imam lapangan, tapi kami tahu, kau juga sangat suci kalau memimpin perayaan Ekaristi,” kata Pst Feighty sambil melemparkan senyuman kecil.
Maafkan kami John, Sahut Pst Terry. Hasil kebun Radey tak pernah kau rasakan membantu pengobatanmu, sebab itu kau buat bukan utk dirimu, tetapi untuk masa depan imam-imam di keuskupan ini. John, kami malu bertanya, apa yang sudah kau buat bagi keuskupan ini. Biarlah kami imam-imam muda masa kini menjawabnya; apa yang sudah kita berikan bagi gereja tercinta ini. John, engkau tidak pernah cari untung dari jabatan imamatmu, engkau tidak pernah memperalat imamatmu untuk kesenangan dan kepentingan pribadi, sampai-sampai kisah seperti ini harus terjadi. “Ketika engkau di Toli-Toli engkau membutuhkan obat, engkau menyembunyikan identitasmu sebagai Imam, agar engkau tidak usah mendapatkan obat secara gratis, agar engkau tetap bisa menolong para penjual yang juga membutuhkan uang. Maksud baikmu terbuka John, ibu itu lari ke kamar lalu keluar dengan foto tahbisanmu Bersama kami, dua rekan imammu ini, dan kau tak bisa membela diri lagi. Yah aku Imam.
John, engkau tidak pernah memanfaatkan imamatmu untuk kepentingan pribadimu,” kata Pastor Terry dengan intonasi suara yang begitu sedih. Suara Pst Feighty yang awalnya begitu lantang mulai mengecil. “John, ketika saatmu kian dekat, engkau menyambut saat-saat itu, bagai domba dibawa ke tempat pembantaian, tiada keluh, tiada kesah, tiada amarah, tiada sesal, kau jalani penuh siap sedia. Kau bagai orang yang diundang ke pesta perjamuan surgawi, engkau mempersiapkan dirimu dengan baik, sadar dan beriman,” tutur Pastor Feighty sambil terisak tangis.
Engkau menerima sakit deritamu sebagai salib imamatmu yang harus dipikul sambil mengikuti Dia. Pst Terry melanjutkan refleksi ini; deritamu di dunia ini telah menjadi api penyucian bagi jiwamu, derita dan sakitmu 5 tahun ini telah menjadi tapa dan penitensi bagi dosa dan salahmu, dan engkau memanggulnya, engkau merangkul salib Imamatmu. Jika Yesus dengan hati terbuka, engkau dengan usus terbuka, usus tersobek, usus takaluar. Kau tak pernah mengeluh, kau tak pernah teriak marah, kau tak pernah benci pada Tuhan. Dalam hening, dalam sepi kau memanggul salib deritamu. Konsekwen seperti senandung kita bertiga, saat kita ditahbiskan dulu.
Pastor Terry dan Pastor Feighty menyanyikan lagu dengan lirik ; Kali ini Tuhan, kumau ikut Tuhan, memikul salibMu dengan sejuta harapan… dunia kutinggalkan, dunia kulupakan, kumau ikut ke jalanMu Tuhan
Jalan Tuhan, itulah jalanmu, jalan salib. Sambung Pst Feighty. Di penghujung jalan ini, engkau minta dipertemukan dengan adik-adikmu, dengan orang-orang yang dekat denganmu, engkau menangis, engkau mohon maaf dan memberi maaf. Engkau membersihkan kebun hatimu dengan apik, engkau membersihkan taman hatimu dengan cantik. Engkau membiarkan air surgawi mengalir, membasahi, menyegarkan.
Kesaksian dari kedua Pastor se-angkatan dengan Pst Alm ini hampir berada pada puncak perasaan sedih karena kehilangan Pst John. Air mata dari banyak umat tidak bisa dibendung lagi.
Pst. Terry tetap melanjutkan kesaksiannya; Hari Minggu lalu, engkau sendiri minta diterimakan sakramen pengurapan orang sakit, engkau menginginkan persiapan rohani dan sacramental bagi hati dan hidup imamatmu dan itu menguatkanmu sesaat, untuk selanjutnya kau semakin siap ketika daya-daya manusiawimu kian melemah. Dan ketika engkau kian lemah, dilanjutkan oleh Pst Feighty, ditemani imam-imam dekatmu, engkau bersedia menerima berkat apostolic dan penganugerahan indulgensi penuh, diawali absolusi dari sesama imammu. Pastor Wens dengan air mata dan suara gemetar Pst Wens memberkatimu pada pagi itu, di hari Sabtu Imam, engkau lalu lebih banyak suka tidur dan menahan sakit, bagai anak domba di altar kurban.
Apalagi yang kau butuhkan John semua sudah siap, kata Pst Terry.
Malam itu adik-adikmu datang. Sahabat-sahabatmu menyapa dan mendoakanmu. Engkau memasuki sakrat mautmu. Ada lagu singkat kubisikan di telingamu; ke dalam tanganMu kuserahkan rohku ya Tuhan Penyelamatku dan kunyanyikan lagu kesayangan kita di komunitas diosesan tempo dulu. Lirik lagu itu adalah; Veni Iesu Amor Mi, dan sesudah lagu ini, ketika aku pamit kau tidak mengenalku lagi, tetapi aku percaya engkau lagi siap berjumpa dengan Iesus, amor mi. Pst Feighty melanjutkan; Sampai dinihari, Dies Dominica, diiringi lantunan doa Rosario dan puluhan Ave Maria, engkau mengakhiri jalan salibmu dengan hembusan nafasmu yang teduh tenang. Membenarkan kata-kata kitab Wahyu : Berbahagialah yang meninggal di dalam Tuhan, mereka berada di tangan Allah. Membenarkan syair lagu di bulan Rosario ini: Dan bila aku mati, diucap bibirku.
Hampir di akhir kesaksian Iman serta cerita semasa hidup Pst John yang menginspirasi dan menggugah hati ini, Pst Terry mengatakan; John Masukilah rumah Bapa, bagai hamba yang setia, engkau telah melayani Dia, kini saatnya Dia melayani engkau. Terima kasih untuk benih-benih yang kau tabur lewat kesaksian imamatmu yang penuh kerja nyata, penuh pembelaan pada yang kecil, terima kasih engkau punya hati Imam pekerja dan pencinta. Sementara itu Pst Feighty juga hampir mengakhiri kesaksian ini dengan berkata ; John, engkau kini tak kekurangan, saat ini Tuhanlah gembalamu, berbaringlah di padang rumput hijau.
Terima kasih untuk imanmu, untuk kesetiaanMu pada Tuhan, pada imamat, untuk benih-benih baik imamatmu. John, berbaringlah di tangan Allah Bapa, yang lebih subur dari lembah Napu, dengarkan senandung para malaikat yang lebih merdu dari kicauan burung-burung di pepohonan Lotta. Benih-benihmu akan tetap hidup.
Di akhir kesaksian atau refleksi tentang warisan Iman dari Pst. John Karundeng ini, Pst Terry dan Pst Feighty menutupnya dengan sepenggal lantunan lagu yang dinyanyikan berdua. Lagu yang dulu sering disenandungkan mereka bertiga sambil menunggu waktu kapan ditahbiskan; Satu hal ini, satu hal ini, satu hal ini, yang kami mohon, kepada Tuhan, yang kami mohon kepada Tuhan. Semoga aku boleh diam di rumahMu, semoga aku boleh diam di rumahMu, ya Tuhan, selama hidupku!
Di akhir perayaan ekaristi ini sebelum jenazah dihantar ke ladang pekuburan ada tanda ungkapan kasih dimulai dari Bapa Uskup. Mewakili Para Pastor ialah Pst Yansen Dianomo. Mewakili Keluarga oleh Ibu Rike Karundeng. Keluarga yang merawat Pst John Karundeng yakni Ibu Theresia juga memberikan tanda kasihnya. Bapak Noldy Frans yang adalah teman Pst John dalam urusan kendaraan. Mewakili rumah sakit diserahkan oleh Suster Agustine Sumarauw. Tanda kasih terakhir diberikan oleh Bapak Guru Bernardus Rawung mewakili umat Rumengkor. Setelah tanda kasih, ada peletakan karangan bunga, juga diawali oleh Bapa Uskup. Pst John Mengko mewakili Pastor. Yanes Karundeng mewakili keluarga. Frater Herman Mandagi mewakili biarawan-biarawati dan terakhir Pst Freddy Samudia mewakili paroki-paroki yang pernah dilayani Pst John.
Sekitar pukul 14.00 WITA, jenazah Pst John Karundeng dihantar ke Pemakaman di Seminari Kakaskasen Tomohon dengan iringan para pelayat paling depan adalah kendaraan dari Legio Christi disusul Ambulance, mobil Bapa Uskup serta seluruh pelayat yang hadir dan terus menghantarkan jenazah ke tempat kediaman abadi.
Beberapa menit peti jenazah berada di Biara Karmel Kakaskasen untuk didoakan oleh para suster dan akhirnya dibawa ke Seminari Kakaskasen. Terlihat dari mulai depan pintu masuk Seminari sudah berdiri berjejer para siswa dengan urutan paling depan adalah Group Marching Band Seminari yang menyambut kedatangan jenazah dengan bunyi-bunyian instrument musik alat tiup terompet dan Bas.
Telah disiapkan di halaman pintu masuk beberapa bangku yang disusun untuk ditatahkan peti Jenazah Pst John. Menyambut kedatangan jenazah sudah berdiri adalah Pastor pengajar di Seminari Kakaskasen mulai dari Rektor Pst Hadi Untu, Pst Albert Smit, Pst Poltje Pitoy, Pst Vecky Singal, Pst. Lucky Singal, Pst Sevry Topit dan beberapa pastor lainnya. Bapa Uskup juga tetap setia mengantar jenazah Pst John karundeng.
Setelah penyambutan jenazah dipikul menuju ladang pekuburan sambil mengikuti jalan arah barat seminari melewati hutan pinus, bukit kimentur.
Sampailah rombongan jenazah di tanah kediaman abadi seminari Kakaskasen. Nampak lubang untuk peristirahatan terakhir Pst John Karundeng sudah digali tepat bersampingan dengan Pst Hery Merung, pastor sekampungnya Pst John Karundeng.
Ibadah di ladang pekuburan dipimpin oleh Pst Poltje Pitoy dan dihadiri oleh ratusan pelayat. Para Pastor juga terlihat masih ada sekitaran 40-an Pastor yang tetap menghantar Pst John menuju ke tempat peristirahatan terakhir.
Ad Vitam Aeternam Pastor John. Kami tidak mengenalmu, namun saat mengikuti proses misa requiem serta mendengar kesaksian dan refleksi oleh kedua teman pastor angkatanmu, kami merasa sudah mengenalmu sangat dekat.
Bahkan seketika kami merasa sangat kehilanganmu. Inspirasi darimu semasa kau hidup, seakan mencambuk kami untuk bisa menjadi benih yang harus tumbuh subur dan berbuah di Keuskupan ini. Tangan kotor, hati bersih. Bekerja, bekerja dan terus bekerja. Bukan hanya di mulut, tapi harus in action. Terima Kasih Pastor John Karundeng. Kami yakin ada cahaya abadi dalam tidur panjangmu.
(Gusti Kalengkongan)