Merenungkan Sabda
Selasa, 21 Mei 2024
Pekan Biasa VII
(Yak.4:1-10, Mrk.9:30-37).
Waktu panas-panasnya persiapan Pilpres, Ketua Partai PSI, pernah mengatakan: “kami ingin berpolitik secara gembira, tanpa ada yang mencela dan merendahkan orang lain.” Ungkapan ini dimaksudkan agar dalam politik yang selama ini dikenal penuh dengan intrik, tekanan, deal-deal penuh kepentingan, dapat dijalani dengan cara yang berbeda. Berpolitik tidak mengharuskan adanya upaya saling menjatuhkan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Mengapa tidak menciptakan politik yang riang gembira tanpa saling menjatuhkan dan menciptakan opini negative terhadap yang lain.
Jauh-jauh hari sebelumnya, Yesus sudah menanamkan dalam diri para murid-Nya untuk mengikutiNya dengan suka cita. “Yesus lalu memanggil seorang anak kecil ke Tengah-tengah mereka. Kemudian Ia memeluk anak itu…..” Mengapa Yesus harus memanggil anak kecil? Anak kecil penuh keceriaan, jujur dan polos, apa adanya, serta bersikap tulus tanpa maksud dan pamrih. Hal ini dibuat Yesus untuk menyindir para murid yang berbicara tentang ‘siapa yang terbesar diantara mereka’. Karena dalam kemuridan Kristus, tidak ada pembicaraan besar dan kecil tetapi siapa yang rela melayani dan memberi diri. Tuntutan ini membutuhkan hati yang tulus dan polos seperti hati seorang anak kecil.
Yang merusak tatanan karya pelayanan dalam kehidupan bersama, baik itu dalam masyarakata atau gereja adalah Hawa Nafsu pribadi manusia. Inilah yang diungkapkan oleh Rasul Yakobus. Hawa Nafsu ini melahirkan sikap-sikap jahat yang lain, yakni sengketa- pertengkaran dan iri hati. Pertengkaran terjadi di mana-mana karena masing-masing orang merasa berkuasa dan orang lain harus menuruti apa yang menjadi keinginanya. Betapa kacaunya orang yang memilik nafsu untuk berkuasa. Contoh, pastor tidak berdagang dan tidak mengetahui harga-harga barang. Pastor kemudian pergi di salah satu toko untuk menentukan harga barang di toko itu karena hanya ingin menujukan kekuasaan. Pasti Kacau dan pemiliknya akan marah dan mengusir. Atau sebaliknya, seorang pedang, mahir terhadap harga-harga barang, tetapi tidak pahan dengan urusan agama, lalu mulai mengatur-ngatur aturan gereja dan kemudia mengajak yang lain idak perlu mendengar pastor. Kacaulah jadinya dan pasti menimbulkan kebingungan. So’ berkuasa dan so’ tau ini yang bisa buat keributan.
Iri hati merupakan pula ekspresi ketidakpuasan manusia terhadap posisinya yang telah ditetapkan Allah. Segala pemberian Allah dirasakan tidak cukup. Hawa nafsu menguasai dirinya. Ia menginginkan banyak hal, namun secara tidak terkendali. Ia selalu merasa kurang sebab segala sesuatu tidak dapat memuaskannya. Iri hati ini timbul dari nafsu berkuasa ini.
Betapa tentram dan damainya hati kita, jika kita bersikap seperti anak kecil, yang tidak punya nafsu berkuasa, tidak ambisi, tetapi tulus. Maka pasti karya pelayanan dan pengabdian kita dipenuhi dengan kegembiraan. Mari kita ciptakan pelayanan yang riang gembira, bukan pelayanan yang dikuasai oleh perasaan iri, ambisi berkuasa dan ego kita. Amin.
AMDG. Pst.Y.A.
St. Ignatius, Manado