Merenungkan Sabda
Kamis, 13 Juni 2024
PW st. Antonius dari Padua
(1 Raj.18:41-46, Mat.5:20-26)
“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan para ahli taurat dan orang-orang Farisi, kalian tidak masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Rupanya praktek dan penghayatan hidup keagaam para Ahli Taurat dan orang Farisi bukan menjadi acuan untuk menjadi orang beragama yang baik. Sehingga Yesus mewanti-wanti para murid, termasuk kita semua agar jangan sampai berpatokan atau mengacu pada hidup keagaam mereka. Mengapa Yesus menggunakan hidup keagaam Ahli Taurat dan orang Farisi sebagai suatu perbandingan yang keliru?
Kita tahu Yesus selalu mengkritik kehidupan Ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena beberapa alasan yang sering Yesus uangkapkan:
Pertama, soal formalisme Agama. Maksudnya adalah menghayati ajaran agama hanya bersifat formalis dan legalis. Tiap individu tidak mampu menghayati nilai agama yang sesungghunya dalam kehidupan sehari-harinya. Formalisme agama mencerminkan kesalehan yang semu atau palsu. Yesus sering mengkriti mereka karena menjalankan kehidupan agama sekedar formalitas belaka.
Kedua, Mengklaim sebagai Pemegang otoritas Kebenaran. Mereka suka dihormati, duduk di tempat-tempat terhormat. Mereka menguasai Alkitab dan mahir dalam hukum-hukum Taurat dan peraturan. Tetapi seringkali melampaui batas penafsiran Kitab Suci dan menambahkan berbagai tradisi ciptaan mereka pada firman Allah, akhirnya membebani hidup orang lain. Sementara mereka tidak melakukan kewajiban-kewjiban yang mereka ajarkan.
Ketiga, Kemunafikan. Mereka Suka disebut Rabi dan dihormati, Suka berdoa yang Panjang-panjang dan memamerkan kesalehan mereka supaya dilihat orang. Makanya Yesus sering mengecam mereka dengan mengatakan keluarkan dahulu balok di matamu maka engkau akan melihat dengan jelas selumbar di mata saudaramu. Yesus juga mengibaratkan mereka dengan makan yang kelihatan baik di luar tetapi penuh tulang belulang di dalamnya.
Maka dari Kritikan Yesus ini terhadap para ahli Kitab dan Orang Farisi, Yesus menghendaki hidup keagamaan yang benar. Hidup iman atau kegaaman bukan diukur dari banyaknya pengetahuan atau mahir dibidang keagamaan. Hidup keagamaan tidak ditentukan pula oleh kuasa atau wewenang yang diberikan atau melekat pada kita; juga bukan seberapa banyak harta yang kita kumpulkan. Tetapi bagaimana hidup kita dikendalikan oleh hati yang suci dan murni. Segala tindakan dan perbuatan kita yang keluar dari hati yang murni dan tulus pasti baik untuk Tuhan dan sesama kita. Tetapi jika hati kita tidak baik maka pasti akan terlihat dari tindakan-tindakan kita yang suka bermusuhan, penuh kebencian, keributan dan kepura-puraan. Hidup iman atau keagamaan yang benar adalah hidup yang mengusahakan damai sejahtera, suka mengampuni, bersikap jujur terhadap sesama dan tentu murah hati. Dengan demikian kita melampauwi batas hidup keagamaan orang-orang Farisi dan ahli kitab. Semoga Tuhan memberi hati yang suci dan murni dan menjalankan kehidupan iman kita dengan hati yang tulus. Amin.
AMDG. Pst. Y.A.
St. Ignatius, Manado